Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Suttapiṭaka Jātaka I<br />
membelah kepala ayahnya menjadi dua bagian. Saat itu juga,<br />
orang tua itu meninggal.<br />
Bodhisatta yang menyaksikan kejadian itu berpikir, “Yang<br />
lebih baik dari seorang teman yang demikian adalah musuh yang<br />
memiliki akal sehat, yang (dikarenakan) rasa takutnya terhadap<br />
balas dendam dari seseorang akan mencegahnya membunuh<br />
seseorang.” Ia mengucapkan baris-baris berikut ini:<br />
Teman yang bodoh lebih buruk dibandingkan dengan<br />
musuh yang memiliki akal sehat;<br />
Lihatlah seorang anak yang mencari hewan penyengat<br />
untuk dibunuh, namun malah membelah, si dungu yang<br />
menyedihkan, tengkorak ayahnya menjadi dua bagian.<br />
[248] Selesai berkata, Bodhisatta bangkit dan pergi. Ia<br />
meninggal pada waktunya dan terlahir kembali di alam yang<br />
sesuai dengan perbuatannya. Sementara tukang kayu itu,<br />
jasadnya dibakar oleh para penduduk desa.<br />
____________________<br />
“Demikianlah, umat awam,” kata Sang Guru, “di kehidupan<br />
yang lampau, mereka yang mencari nyamuk, membunuh<br />
sesama manusia.” Uraian tersebut berakhir, Beliau<br />
mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran itu dengan<br />
berkata, “Di masa itu, Saya adalah pedagang yang bijaksana dan<br />
penuh kebaikan, yang meninggalkan tempat itu setelah<br />
mengucapkan syair tersebut.”<br />
Suttapiṭaka Jātaka I<br />
No.45.<br />
ROHIṆĪ-JĀTAKA<br />
“Teman yang bodoh,” dan seterusnya. Kisah ini<br />
diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, tentang<br />
seorang pelayan wanita dari Saudagar Anāthapiṇḍika. Dikatakan<br />
bahwa ia mempunyai seorang pelayan wanita yang bernama<br />
Rohinī. Ibunya yang sudah tua mendatangi tempat gadis itu<br />
menumbuk padi dan berbaring di sana. Lalat-lalat<br />
mengerumuninya dan menyengatnya dengan sengatan yang<br />
setajam jarum, ia pun berseru kepada anak perempuannya,<br />
“Lalat-lalat sedang menyengatku, Anakku, usirlah mereka!” “Oh,<br />
mereka akan segera saya usir, Bu,” jawab gadis tersebut, ia lalu<br />
mengangkat alu ke arah lalat-lalat yang hinggap pada ibunya. Ia<br />
berseru, “Saya akan membunuh mereka!”, dan menghantam<br />
ibunya dengan sebuah pukulan seperti hendak membunuh<br />
wanita tua tersebut seketika itu juga. Melihat akibat perbuatannya,<br />
gadis itu mulai menangis dan berseru, “Oh, Ibu, Ibu!”<br />
Kabar itu terdengar oleh sang saudagar, yang kemudian<br />
membakar jasad wanita tersebut. Ia kemudian pergi ke wihara<br />
dan menceritakan kejadian itu kepada Sang Guru. “Ini bukan<br />
pertama kalinya, Tuan perumah-tangga,” jawab Sang Guru,<br />
“keinginan Rohinī untuk membunuh lalat-lalat yang hinggap pada<br />
ibunya, membuat ia memukul ibunya hingga meninggal dengan<br />
menggunakan sebuah alu. Ia melakukan hal yang sama di<br />
kehidupan yang lampau.” Atas permintaan Anāthapiṇḍika, Beliau<br />
menceritakan kisah kelahiran lampau ini.<br />
269<br />
270