22.11.2014 Views

Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta

Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta

Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Suttapiṭaka Jātaka I<br />

dilanda bencana kekeringan, kami akan ke sana setelah ladang<br />

kami telah kami beri air.” Setelah pengairan ladang selesai,<br />

mereka mengatakan bahwa mereka harus menabur benih<br />

terlebih dahulu; setelah benih telah ditabur, mereka harus<br />

membuat pagar; setelah pagar telah terpasang, mereka harus<br />

menyiangi rumput dan memanen serta menebah hasil panen<br />

mereka; dengan satu demi satu pekerjaan yang mereka<br />

sebutkan, waktu tiga bulan pun berlalu.<br />

Setelah menghabiskan masa tiga bulan dengan tidak<br />

nyaman, bhikkhu itu berhasil mengembangkan objek<br />

meditasinya, namun tidak dapat mencapai kemajuan yang lebih<br />

lagi. Setelah perayaan Pavāranā di akhir musim hujan, ia kembali<br />

ke tempat Sang Guru. Setelah memberikan penghormatan, ia<br />

mengambil tempat duduk di suatu sisi. Dengan sapaan yang<br />

ramah, Sang Guru berkata, “Bhikkhu, apakah engkau melewati<br />

musim dingin dengan nyaman? Apakah engkau berhasil<br />

mengembangkan objek meditasimu?” Bhikkhu itu menceritakan<br />

apa yang terjadi kepada Beliau, ia tidak lupa menambahkan,<br />

“Karena saya tidak mempunyai tempat tinggal yang sesuai, objek<br />

meditasi saya tidak mengalami kemajuan yang berarti.”<br />

Sang Guru menjawab, “Di kehidupan yang lampau,<br />

bhikkhu, bahkan hewan-hewan dapat mengetahui apa yang<br />

cocok untuk mereka dan apa yang tidak. Bagaimana engkau bisa<br />

tidak mengetahuinya?” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut,<br />

Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.<br />

____________________<br />

[216] Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di<br />

Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor burung dan tinggal di<br />

Suttapiṭaka Jātaka I<br />

sebuah pohon besar yang memiliki beberapa cabang, sebagai<br />

pemimpin dari kawanan burung di sana. Suatu hari, cabangcabang<br />

pohon tersebut saling bergesekan satu sama lain, debu<br />

mulai berjatuhan, dan sesaat kemudian timbul asap. Melihat hal<br />

itu, Bodhisatta berpikir, “Jika dua cabang saling bergesekan<br />

seperti ini, akan timbul percikan api; hal yang paling tepat untuk<br />

dilakukan adalah segera pergi ke tempat yang lain.” Ia<br />

mengulangi syair ini untuk kawanan burung tersebut: —<br />

Engkau yang tinggal di udara, di dahan ini<br />

engkau temukan tempat tinggal; perhatikan bibit-bibit api<br />

yang sedang diciptakan oleh pohon yang membumi ini!<br />

Carilah tempat yang aman di saat engkau terbang!<br />

Benteng kita yang terpercaya telah sekarat!<br />

Burung yang lebih bijaksana, mengikuti nasihat<br />

Bodhisatta, segera terbang ke tempat lain mendampingi<br />

Bodhisatta. Namun mereka yang bodoh berkata, “Ia selalu<br />

begitu; selalu membayangkan tentang buaya begitu melihat air.”<br />

Mereka tidak mengindahkan kata-kata Bodhisatta, tetap tinggal di<br />

tempat tersebut. Dalam waktu yang singkat, seperti yang telah<br />

diramalkan oleh Bodhisatta, api benar-benar berkobar, dan<br />

pohon tersebut segera dilahap api. Saat asap dan kobaran api<br />

membesar, burung-burung itu dibutakan oleh asap, tidak dapat<br />

melarikan diri; satu per satu jatuh dalam kobaran api dan binasa.<br />

____________________<br />

“Demikianlah, para Bhikkhu,” kata Sang Guru, “di<br />

kehidupan yang lampau, bahkan hewan yang tinggal di pohon<br />

207<br />

208

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!