14.01.2013 Views

Islam dan Negara - Democracy Project

Islam dan Negara - Democracy Project

Islam dan Negara - Democracy Project

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

D e m o c r a c y P r o j e c t<br />

intelektualnya. Gagasannya yang menonjol mengenai kemungkinan<br />

menyebandingkan secara sosial-kultural antara ucapan “alsalâm<br />

‘alaykum” dengan “selamat pagi/siang/malam”, misalnya,<br />

pada umumnya dipan<strong>dan</strong>g sebagai penolakan atas cara memberi<br />

salam <strong>Islam</strong> tradisional. 23 Karena itu, gagasan tersebut dituduh<br />

ingin menggantikan yang pertama, <strong>dan</strong> bukan sekadar usulan<br />

mengenai kesebandingan sosio-kultural antara yang pertama <strong>dan</strong><br />

yang kedua. Tuduhan ini mengaburkan substansi agenda pribumisasinya<br />

(yakni akomodasi tradisi-tradisi lokal dalam ekspresi<br />

<strong>Islam</strong> Indonesia). 24<br />

Wilayah hambatan yang kedua muncul dari modus-modus di<br />

mana gagasan-gagasan pokok gerakan pembaruan teologis/religius<br />

ini dielaborasi secara ideologis <strong>dan</strong> politis, yang mengarah kepada<br />

pemberian justifikasi keagamaan kepada bentuk negara yang ada<br />

dewasa ini dengan Pancasila <strong>dan</strong> UUD 1945 sebagai dasar ideo-<br />

23 Tidak setiap Muslim mengucapkan “al-salâm `alaykum” untuk menyambut<br />

rekan-rekannya sesama Muslim. Banyak Muslim keturunan Jawa yang taat, misalnya,<br />

tanpa merasa kurang <strong>Islam</strong>i, menyambut rekan-rekannya sesama Muslim dalam<br />

cara yang sesuai dengan adat Jawa seperti sugeng injing (bentuk basa-basi untuk<br />

“selamat pagi” dalam adat Jawa).<br />

24 Karena kontroversi-kontroversi ini, banyak pihak yang menyatakan bahwa<br />

tokoh-tokoh pembaruan teologis/religius ini memilih tema-tema yang keliru dalam<br />

upaya pembaruan mereka. Menurut mereka, masalah-masalah mendasar yang<br />

dihadapi masyarakat Muslim Indonesia jauh lebih perlu diatasi ketimbang masalah-masalah<br />

teologis: kemiskinan, ketidakadilan ekonomi, <strong>dan</strong> berbagai kebejatan<br />

sosial-politik lainnya. Pada gilirannya, kritik-kritik seperti ini mengilhami beberapa<br />

intelektual Muslim tertentu yang lebih muda, misalnya Moeslim Abdurrahman,<br />

untuk menjembatani kesenjangan ini dengan gagasan teologi transformatif, yakni<br />

sebuah perspektif teologis yang dirumuskan untuk pertama-tama membela kelompok<br />

masyarakat akar rumput. Sekadar contoh, lihat artikel Moeslim Abdurrahman,<br />

“Wong Cilik <strong>dan</strong> Kebutuhan Teologi Transformatif,” M. Masyhur Amin (ed.), Teologi<br />

Pembangunan: Paradigma Baru Pemikiran <strong>Islam</strong>, Yogyakarta: LKPSM NU DIY,<br />

l989, hh. 153-161.<br />

— Bahtiar Effendy

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!