14.01.2013 Views

Islam dan Negara - Democracy Project

Islam dan Negara - Democracy Project

Islam dan Negara - Democracy Project

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

D e m o c r a c y P r o j e c t<br />

besar dibandingkan dengan perjumpaan yang lebih awal dengan<br />

Marxisme, membangun panggung konfrontasi ideologis antara<br />

para pemimpin <strong>dan</strong> aktivis <strong>Islam</strong> politik <strong>dan</strong> rekan-rekan mereka<br />

yang berwawasan nasionalis, terutama dalam hal hubungan antara<br />

agama (<strong>Islam</strong>) <strong>dan</strong> negara pada masa Indonesia merdeka. Dalam<br />

konteks historis inilah dua kelompok yang saling bertentangan<br />

muncul dalam diskursus politik Indonesia: (1) golongan <strong>Islam</strong><br />

<strong>dan</strong> (2) golongan nasionalis. 32<br />

Pada awalnya, benturan antara kedua kelompok ini berlangsung<br />

di sekitar watak nasionalisme. Dalam upaya menemukan<br />

ikatan bersama demi perjuangan pencapaian Indonesia merdeka,<br />

Soekarno secara luas mendefinisikan nasionalisme sebagai “cinta<br />

kepada tanahair, kesediaan yang tulus <strong>dan</strong> membaktikan diri kepada<br />

tanahair, serta kesediaan untuk mengenyampingkan kepentingan<br />

partai yang sempit.” 33 Di tempat lain, ia menulis bahwa<br />

32 Dengan mempertimbangkan kondisi-kondisi historis <strong>dan</strong> kenyataan bahwa para<br />

pemimpin utama (jika bukan sebagian besar anggota) kelompok nasionalis adalah orangorang<br />

<strong>Islam</strong>, saya cenderung untuk melihat kedua kelompok ini dalam kerangka kategori-kategori<br />

politik (bukan religius). Meskipun demikian, seperti sudah ditunjukkan<br />

pada bab II, banyak pengamat yang cenderung meman<strong>dan</strong>g kedua kelompok ini dalam<br />

kategori-kategori religius, dengan mengganti istilah “<strong>Islam</strong>” <strong>dan</strong> “nasionalis” dengan<br />

“santri” (Muslim yang taat) <strong>dan</strong> “abangan” (Muslim yang kurang taat). Karena itulah,<br />

misalnya, mereka mencirikan Mohammad Natsir sebagai santri <strong>dan</strong> Soekarno<br />

sebagai abangan. Dalam pan<strong>dan</strong>gan saya, perbedaan-perbedaan pokok antara mereka<br />

yang menginginkan berkembangnya <strong>Islam</strong> sebagai kategori politik <strong>dan</strong> mereka<br />

yang lebih mendahulukan <strong>Islam</strong> sebagai landasan moral <strong>dan</strong> etis, dalam segala sikap<br />

ideologis <strong>dan</strong> politis mereka, tidaklah terletak pada tingkat ketaatan religius (atau<br />

keimanan) mereka, melainkan pada cara mereka menafsirkan <strong>dan</strong> memahami ajaran-ajaran<br />

<strong>Islam</strong>. Karena itu, meskipun harus menolak gagasan negara <strong>Islam</strong>, orangorang<br />

seperti Soekarno <strong>dan</strong> Hatta tidaklah kurang <strong>Islam</strong> dibandingkan rekan-rekan<br />

mereka sesama Muslim yang berusaha keras untuk mendirikan negara <strong>Islam</strong>.<br />

33 Fadjar Asia, 8 <strong>dan</strong> 20 Agustus 1928. Dikutip dari Deliar Noer, The Modernist<br />

Muslim Movement in Indonesia, h. 253. Lihat juga Bernhard Dahm, Sukarno and the<br />

— <strong>Islam</strong> <strong>dan</strong> <strong>Negara</strong>

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!