14.01.2013 Views

Islam dan Negara - Democracy Project

Islam dan Negara - Democracy Project

Islam dan Negara - Democracy Project

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

D e m o c r a c y P r o j e c t<br />

Dengan tidak a<strong>dan</strong>ya rumusan atau formula yang dapat diterima<br />

secara nasional itu, maka sulit bagi kita untuk menaksir<br />

akan seperti apakah masa depan saling pengaruh politik antara <strong>Islam</strong><br />

<strong>dan</strong> negara. Dalam situasi ini, isu itu tetap masih merupakan<br />

teka-teki besar, <strong>dan</strong> cenderung menciptakan mitos <strong>dan</strong> spekulasi<br />

mengenai duduk perkara yang sesungguhnya <strong>dan</strong> kemungkinan<br />

akibat-akibatnya di masa depan.<br />

Dalam kerangka analisis inilah posisi Abdurrahman Wahid<br />

dapat lebih dipahami secara bermakna. Dilihat dari keseluruhan<br />

spektrum pemikiran religio-politiknya, apa yang lebih-lebih<br />

ia khawatirkan bukanlah bentuk-bentuk material akomodasi negara<br />

terhadap <strong>Islam</strong>, 130 melainkan ketidakpastian saling pengaruh<br />

religio-politik yang diakibatkannya di masa depan. Inilah yang<br />

tampaknya mendorong Abdurrahman mengambil sikap kritis semacam<br />

itu terhadap seluruh diskursus politik akomodasi. 131 Dalam<br />

situasi seperti ini, “ketakutan terhadap yang tak dikenal”,<br />

130 Dalam sebuah wawancara, ia secara terbuka mengecilkan arti beberapa bentuk<br />

akomodasi, misalnya pengesahan RUUPA <strong>dan</strong> pengajaran bahasa Arab lewat<br />

jaringan televisi. Lihat, “Gus Dur, <strong>Islam</strong>, <strong>dan</strong> Demokrasi,” Tempo, 28 September<br />

1991, h. 39.<br />

131 Beberapa kalangan bahkan menyatakan bahwa ada faktor personal yang terlibat<br />

di sini. Menyusul tumbuhnya generasi baru pemikir <strong>dan</strong> aktivis Muslim, <strong>Islam</strong><br />

di Indonesia seringkali dipahami dalam kerangka bipolar antara “tradisionalisme”<br />

<strong>dan</strong> “modernisme”. Dengan tumbuhnya intelektualisme baru pada 1970-an, perspektif<br />

dikotomis ini seringkali dipan<strong>dan</strong>g sudah tidak memadai lagi. Meskipun demikian,<br />

ini benar hanya dalam pengertian “intelektual”-nya, bukan dalam pengertian<br />

“organi-sasional”-nya. Meskipun ada sejumlah kegiatan yang melibatkan kedua<br />

kelompok besar itu bersama-sama pada 1970-an <strong>dan</strong> 1980-an, sentimen-sentimen<br />

“keorganisasian” keduanya tetaplah tidak hilang. Dalam konteks ini, Abdurrahman<br />

Wahid dilaporkan telah ditinggalkan <strong>dan</strong> tidak lagi diajak dalam penyelenggaraan<br />

beberapa kegiatan yang dipelopori oleh rekan-rekannya yang “modernis” (misalnya<br />

pembentukan Paramadina, pembentukan FKPI, <strong>dan</strong> lainnya). Bahkan, ia juga tidak<br />

diikutsertakan dalam proses pembentukan ICMI, yang seringkali dianggap sebagai<br />

— Bahtiar Effendy

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!