21.11.2014 Views

fathul-baari-1-syarah-hadits-bukhari

fathul-baari-1-syarah-hadits-bukhari

fathul-baari-1-syarah-hadits-bukhari

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

untuk mendapatkan wanita yang merdeka. Hanya saja kondisi tersebut<br />

berbalik hingga pada masa bani Abbasiyah. Riwayat yang menggunakan<br />

ta' ta 'nits (rabbataha) tidak dapat menguatkan pendapat tersebut.<br />

Sebagian yang lain berpendapat, bahwa penggunaan kata<br />

(tuan) untuk menunjukkan anaknya adalah merupakan bentuk majaz<br />

(kiasan), karena ketika bayi itu menjadi sebab merdekanya budak<br />

tersebut akibat ditinggal mati bapaknya, maka pembatasan seperti itu<br />

diperbolehkan.<br />

Kemudian sebagian yang lain lebih mengkhususkannya, bahwa<br />

perbudakan jika meluas dapat menjadikan anak sebagai budak. Kemudian<br />

ia dibebaskan pada saat dewasa dan menjadi tuan atau pemimpin lalu dia<br />

memperbudak ibunya dengan cara membelinya karena dia telah<br />

mengetahui hal tersebut atau tidak mengetahui. Selanjutnya dia<br />

menjadikan wanita tersebut sebagai budaknya dan menyetubuhinya, atau<br />

dia memerdekakan dan mengawininya.<br />

Pada beberapa riwayat ditemukan, "budak perempuan akan<br />

melahirkan suaminya." Salah saru dari riwayat tersebut adalah riwayat<br />

Imam Muslim. Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan<br />

suami dalam riwayat tersebut adalah tuannya, dan pendapat ini yang lebih<br />

sesuai dengan riwayat yang ada.<br />

Kedua, para tuan tersebut menjual para budak perempuan (ibu<br />

dan anak) mereka. Karena terlalu banyaknya, sehingga dia tidak tahu<br />

bahwa yang membelinya adalah anaknya. Berdasarkan penafsiran ini,<br />

yang dimaksudkan dengan tanda-tanda hari kiamat adalah<br />

mendominasinya sikap meremehkan hukum syariat.<br />

Jika ada yang berpendapat bahwa dalam masalah ini ada<br />

perbedaan sehingga tidak dapat dipahami seperti di atas, karena tidak ada<br />

kebodohan dan kehinaan bagi orang yang membolehkannya. Menurut<br />

kita masalah tersebut masih dapat dipahami sesuai dengan apa yang<br />

disepakati oleh konsensus ulama, seperti haram menjualnya pada saat<br />

hamil.<br />

Ketiga, mengikuti model yang sebelumnya. An-Nawawi berkata,<br />

"Hadits tersebut tidak dikhususkan kepada anak yang membeli ibunya,<br />

akan tetapi <strong>hadits</strong> tersebut memiliki gambaran lain, yaitu seorang budak<br />

melahirkan seorang anak dari orang yang merdeka dengan watha'<br />

syubhah (hubungan yang tidak jelas) atau dengan sesama budak baik<br />

dengan nikah maupun zina. Kemudian budak tersebut diperjualbelikan<br />

dan terus berputar kepemilikannya sampai akhirnya dia dibeli oleh<br />

anaknya."<br />

Muhammad bin Bisyr tidak menyetujui pendapat ini, karena<br />

menurutnya pengkhususan tersebut tidak mempunyai dasar yang kuat.<br />

FATHUL BAARI — 223

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!