15.04.2023 Views

Kisah Spiritual dua Kota

Para rohaniwan dan para bangsawan dipaksa menyerah kepada kekejaman rakyat yang sudah bangkit naik pitam itu. Kehausan mereka untuk membalas dendam dirangsang oleh kematian raja; dan dia yang mendekritkan kematiannya, segera juga menyusul ke tiang gantungan pembakaran. Suatu pembunuhan umum atas semua yang dicurigai memusuhi Revolusi telah ditetapkan. Penjara-penjara penuh sesak, pada suatu waktu berisi lebih dari dua ratus ribu orang tawanan. Kota-kota kerajaan itu dipenuhi horor. Satu golongan atau kelompok revolusionis melawan golongan atau kelompok lain. Dan Perancis menjadi medan persaingan massa, digoncang oleh kekejaman hawa nafsu mereka. “Di Paris huru-hara dan kerusuhan susul menyusul, dan penduduk terbagi-bagi dalam faksi-faksi, yang tampaknya tidak ada maksud lain selain saling membinasakan atau menyingkirkan.” Dan sebagai tambahan kepada penderitaan umum, bangsa ini menjadi terlibat dalam perang yang berkepanjangan yang paling merusakkan, dengan kekuasaan-kekuasaan besar. “Negara itu hampir-hampir bangkrut. Tentara berteriak karena tunggakan gaji mereka, orang-orang Paris kelaparan, daerah-daerah diporak-porandakan oleh perampok-perampok, dan peradaban hampir dilenyapkan dalam kekacauan dan kebebasan.”

Para rohaniwan dan para bangsawan dipaksa menyerah kepada kekejaman rakyat yang sudah bangkit naik pitam itu. Kehausan mereka untuk membalas dendam dirangsang oleh kematian raja; dan dia yang mendekritkan kematiannya, segera juga menyusul ke tiang gantungan pembakaran. Suatu pembunuhan umum atas semua yang dicurigai memusuhi Revolusi telah ditetapkan. Penjara-penjara penuh sesak, pada suatu waktu berisi lebih dari dua ratus ribu orang tawanan. Kota-kota kerajaan itu dipenuhi horor. Satu golongan atau kelompok revolusionis melawan golongan atau kelompok lain. Dan Perancis menjadi medan persaingan massa, digoncang oleh kekejaman hawa nafsu mereka. “Di Paris huru-hara dan kerusuhan susul menyusul, dan penduduk terbagi-bagi dalam faksi-faksi, yang tampaknya tidak ada maksud lain selain saling membinasakan atau menyingkirkan.” Dan sebagai tambahan kepada penderitaan umum, bangsa ini menjadi terlibat dalam perang yang berkepanjangan yang paling merusakkan, dengan kekuasaan-kekuasaan besar. “Negara itu hampir-hampir bangkrut. Tentara berteriak karena tunggakan gaji mereka, orang-orang Paris kelaparan, daerah-daerah diporak-porandakan oleh perampok-perampok, dan peradaban hampir dilenyapkan dalam kekacauan dan kebebasan.”

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

<strong>Kisah</strong> <strong>Spiritual</strong> Dua <strong>Kota</strong><br />

abad ketamakan dan tindakan tidak bermoral para bangsawan mengakibatkan pemerasan yang<br />

sangat menghimpit para petani.<br />

Orang kaya mempersalahkan orang miskin dan orang miskin membenci orang kaya. Di<br />

beberapa daerah tanah pertanian dikuasai oleh para bangsawan, dan golongan pekerja hanyalah<br />

sebagai penyewa. Mereka bergantung kepada belas kasihan tuan-tuan tanah, dan mereka<br />

terpaksa tunduk kepada permintaan tuan-tuan tanah itu yang terlalu tinggi. Beban untuk<br />

mendukung baik gereja maupun negara terletak pada golongan bawah dan menengah, yang<br />

dibebani dengan pajak yang tinggi oleh pemerintah dan gereja. “Kesenangan dan kehendak para<br />

bangsawan dianggap sebagai hukum tertinggi. Para petani dan peladang kelaparan, semua<br />

karena penindasan mereka yang kejam. . . . Rakyat dipaksa untuk menanyakan kemauan para<br />

tuan tanah dalam setiap tindakan mereka. Kehidupan para petani adalah kehidupan yang terus<br />

menerus bekerja dan penderitaan yang yang tidak ada habis-habisnya. Keluhan mereka, jika<br />

mereka berani mengeluh, diperlakukan dengan penghinaan yang kurang ajar. Pengadilan selalu<br />

memenangkan bangsawan bilamana berhadapan dengan petani.<br />

Hakim sudah biasa menerima sogok. Dan perobahan pikiran yang tiba-tiba dari para<br />

bangsawan mempunyai kekuatan hukum, oleh karena sistem korupsi dan kebejatan yang sudah<br />

merajalela ini. Dari pajak yang ditarik dari rakyat jelata, oleh pegawai penting pemerintah dan<br />

para rohaniawan, tidak sampai separuh yang sampai ke perbendaharaan kerajaan atau<br />

perbendaharaan keuskupan. Yang selebihnya diboroskan dalam pemanjaan diri yang tidak<br />

bermoral. Orang-orang yang memelaratkan temannya sesama rakyat, mereka sendiri bebas dari<br />

pajak, dan berhak atas semua penunjukan negara berdasarkan undang-undang. Golongangolongan<br />

yang mempunyai kedudukan sosial yang baik dan yang mempunayi kekayaan,<br />

berjumlah seratus lima puluh ribu orang, dan untuk memuaskan hati mereka berjuta-juta orang<br />

telah dihukum dengan kehidupan yang tanpa harapan dan yang merendahkan derajatnya.” —<br />

(Lihat Lampiran).<br />

Istana menjadi tempat kemewahan dan percabulan yang tak bermoral. Hanya sedikit rasa<br />

percaya yang terjadi antara rakyat dan penguasa. Semua undang-undang dan peraturan<br />

pemerintah dipandang dengan rasa curiga, sebagai suatu kelicikan dan yang mementingkan diri<br />

sendiri. Selama lebih setengah abad sebelum Revolusi terjadi, takhta telah diduduki oleh Louis<br />

XV, yang, walaupun dalam waktu yang berbahaya seperti itu, ia dikenal sebagai seorang<br />

pemalas, semberono, dan bernafsu jahat. Dengan negara yang diperinth oleh kaum bangsawan<br />

yang bermoral bejat dan kejam serta dengan penduduk golongan yang miskin dan bodoh, maka<br />

keuangan negara sangat merosot, dan rakyat menjadi jengkel dan marah. Tidak diperlukan mata<br />

seorang nabi untuk mengetahui apa yang akan terjadi. Raja biasa memberi jawaban kepada para<br />

penasihatnya, “Usahakan membuat segala sesuatu berjalan terus selama saya masih hidup.<br />

Setelah saya mati biarlah berjalan menurut kemauannya.” Sia-sia himbauan untuk mengadakan<br />

suatu pembaharuan. Ia melihat kejahatan itu, tetapi tidak mempunyai keberanian atau kuasa<br />

untuk menghadapinya. Malapetaka yang menantikan Perancis terlalu jelas digambarkan dalam<br />

jawaban kemalasan yang mementingkan diri, “Sesudah aku, banjir besar!”<br />

175

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!