22.11.2014 Views

Samyutta Nikaya 1 – Sagatha Vagga (2.8 MB) - DhammaCitta

Samyutta Nikaya 1 – Sagatha Vagga (2.8 MB) - DhammaCitta

Samyutta Nikaya 1 – Sagatha Vagga (2.8 MB) - DhammaCitta

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

(352) 1. Buku dengan Syair (Sagāthāvagga)<br />

1. Devatāsaṃyutta<br />

1. Mārisa, “Tuan, Yang Mulia,” istilah yang biasa digunakan oleh<br />

para deva untuk menyapa Sang Buddha, para bhikkhu senior<br />

(baca, misalnya, 40:10; IV 270, 16), dan anggota komunitas mereka<br />

sendiri (11:3; I 218, 34); raja-raja juga menggunakannya untuk<br />

menyapa satu sama lain (3:12; I 80, 4). Spk menjelaskannya<br />

sebagai istilah dari makna kasih sayang “Seorang yang tanpa<br />

penderitaan” (niddukkha), tetapi ini mungkin bentuk India Tengah<br />

dari Skt Madrsa.<br />

Kata “banjir” (ogha) digunakan secara metafora, tetapi di sini<br />

dengan penekanan tambahan secara teknis, untuk menunjuk<br />

kelompok ajaran empat banjir (baca 45:171), lebih dikenal, menurut<br />

Spk, “Karena mereka terus-menerus tenggelam dalam lingkaran<br />

kehidupan dan tidak membiarkan mereka naik ke tingkat<br />

yang lebih tinggi dan ke Nibbāna.” Empat ini (definisi dari Spk)<br />

adalah: (i) banjir indriawi (kāmogha) = keinginan dan nafsu terhadap<br />

lima kenikmatan indria (bentuk-bentuk menyenangkan,<br />

suara-suara, dan seterusnya—baca 45:176); (ii) banjir kehidupan<br />

(bhavogha) = keinginan dan nafsu terhadap alam kehidupan<br />

berbentuk dan alam kehidupan tanpa-bentuk dan kemelekatan<br />

pada jhāna; (iii) banjir pandangan-pandangan (diṭṭhogha) = enam<br />

puluh dua pandangan (DN I 12-38); dan (iv) banjir kebodohan<br />

(avijjogha) = kurangnya pengetahuan sehubungan dengan Empat<br />

Kebenaran Mulia. Banjir perumpamaan juga digunakan pada vv.<br />

298-300, 511-13, dan 848-49.<br />

2. Appatiṭṭhaṃ khvāhaṃ āvuso anāyūhaṃ ogham atariṃ. Spk: Jawaban<br />

Sang Buddha dimaksudkan secara paradoks, bagi orang<br />

yang biasanya menyeberang dengan berhenti di tempat dan<br />

memanfaatkan pijakan kaki dan yang mendorong untuk<br />

menyeberang.<br />

Spk mengemas appatiṭhaṃ hanya dengan appatiṭhahanto (suatu<br />

bentuk alternatif dari suatu kejadian yang sedang berlangsung),<br />

namun Spk-pṭ menjelaskan: “tidak-berhenti: tidak berdiri diam<br />

sehubungan dengan kekotoran dan seterusnya; maknanya<br />

adalah ‘tidak tenggelam’ (appatiṭhahanto ti kilesādinaṃ vasena

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!