22.11.2014 Views

Samyutta Nikaya 1 – Sagatha Vagga (2.8 MB) - DhammaCitta

Samyutta Nikaya 1 – Sagatha Vagga (2.8 MB) - DhammaCitta

Samyutta Nikaya 1 – Sagatha Vagga (2.8 MB) - DhammaCitta

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

1. Devatāsaṃyutta: Catatan Kaki (385)<br />

ian mereka. Kata samaya pada judul bukan berarti “peristiwa”,<br />

tetapi pertemuan atau “sekumpulan orang banyak”; Spk mengemas<br />

mahāsamaya dalam v.121 sebagai mahāsamūha, “kumpulan<br />

agung”.<br />

83. Alam Murni ( suddhāvāsā) adalah lima alam dalam alam berbentuk<br />

yang hanya para Yang-Tidak-Kembali yang terlahir kembali<br />

di sini: Aviha, Atappa, Sudassa, Sudassī, dan Akaniṭṭha. Di sini<br />

mereka mencapai pembebasan akhir tanpa pernah kembali dari<br />

alam tersebut. Dengan demikian, semua penghuni alam itu hanyalah<br />

para Yang-Tidak-Kembali atau Arahanta.<br />

84. Dalam pāda d, saya membaca khilaṃ dengan Se dan Ee1 & 2, bukannya<br />

khīlaṃ dalam Be. Karena indakhīlaṃ muncul dalam pāda<br />

b, khīlaṃ menjadi berulang dalam pāda a. Kedua kata adalah tidak<br />

berhubungan: khila adalah gurun, baik secara literal maupun secara<br />

kiasan; khīla, sebatang tombak atau tiang, berjenis tertentu,<br />

indakhīla, ditanamkan di depan gerbang kota atau pintu masuk<br />

rumah sebagai lambang keberuntungan. Spk mendefinisikan<br />

ketiga istilah ini—khila, paligha, dan indakhīla—dengan cara yang<br />

sama, sebagai nafsu, kebencian, dan kebodohan. Pada At 45:166,<br />

ketiga ini disebut khila, namun pada MN I 139,19-22 paligha diidentifikasikan<br />

sebagai ketidaktahuan (avijjā). Sekelompok dari<br />

lima cetokhila disebutkan pada MN I 101,9-27.<br />

Para bhikkhu itu tidak terusik (anejā) oleh keriuhan (atau kegemparan,<br />

ejā) keinginan (baca 35:90). Nāga adalah sebuah kata<br />

yang digunakan untuk menunjuk berbagai jenis makhluk sakti,<br />

khususnya dari jenis naga setengah dewa, tetapi juga dapat<br />

menunjukkan kobra dan gajah, dan digunakan sebagai metafora<br />

untuk Arahanta; baca MN I 145,5-7. Sehubungan dengan<br />

Arahanta, pengertian yang dominan adalah gajah (baca Dhp<br />

chap. 23), tetapi karena ungkapan terakhir ini, dapat dalam Bahasa<br />

Inggris, terlihat merendahkan daripada penghargaan saya<br />

membiarkan nāga tidak diterjemahkan. Spk menjelaskan kata<br />

ini melalui “etimologi perbaikan” sebagai berikut: chandādihi na<br />

gacchantī ti nāga; tena tena maggena pahīna kilese na āgacchantī ti<br />

nāgā; nānappakāraṃ āguṃ na karontī ti nāgā; ”nāga, karena mereka<br />

tidak menuruti keinginan dan seterusnya; nāga, karena mer-

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!