22.11.2014 Views

Samyutta Nikaya 1 – Sagatha Vagga (2.8 MB) - DhammaCitta

Samyutta Nikaya 1 – Sagatha Vagga (2.8 MB) - DhammaCitta

Samyutta Nikaya 1 – Sagatha Vagga (2.8 MB) - DhammaCitta

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

(444) 1. Buku dengan Syair (Sagāthāvagga)<br />

karena pada saat-saat pencerapan, batin terbebas dari kondisikondisi<br />

yang berlawanan dan terpusat pada objek. Ia jatuh dari<br />

pembebasan batin itu karena penyakitnya. Karena dikalahkan<br />

oleh penyakit kronis yang disebabkan oleh angin, empedu, dan<br />

dahak (“tiga cairan” dari obat-obatan tradisional India), ia tidak<br />

mampu memenuhi kondisi yang kondusif untuk berkonsentrasi.<br />

Setiap kali ia memasuki pencapaian itu, segera ia jatuh dari<br />

sana.<br />

309. Satthaṃ āhareyyaṃ. Sebuah ungkapan eufemisme untuk bunuh<br />

diri; baca 22:87 (III 123,10,26), 35:87 (IV 57,6), dan 54:9 (V<br />

320,24,25). Spk: Ia merenungkan sebagai berikut: “Karena destinasi<br />

setelah kematian bagi seseorang yang telah jatuh dari Jhāna<br />

adalah tidak dapat dipastikan, sementara seseorang yang tidak<br />

jatuh adalah pasti terlahir kembali di alam brahmā, maka aku<br />

akan menggunakan pisau ini.” Mengenai sikap Sang Buddha terhadap<br />

bunuh diri, baca 35:87 (IV 60,1-5).<br />

310. Spk: Māra berpikir: “Petapa ini ingin menggunakan pisau, ini<br />

menunjukkan bahwa ia tidak peduli pada tubuh dan kehidupannya,<br />

dan seorang yang demikian mampu mencapai Kearahatan.<br />

Jika aku mencoba melarangnya, ia tidak akan berhenti, tetapi<br />

jika Sang Guru melarangnya, ia akan berhenti.” Oleh karena<br />

itu, dengan berpura-pura mencemaskan kesejahteraan bhikkhu<br />

tersebut, ia mendatangi Sang Bhagavā.<br />

311. Spk: Jane sutā ti jane visutta; secara literal “terdengar di antara<br />

orang-orang = termasyhur di antara orang-orang”, , yaitu termasyhur<br />

luas. Ada suatu ironi yang menarik dalam tiga syair di<br />

atas, dalam cara Māra—yang biasanya menyapa Sang Buddha secara<br />

tidak sopan sebagai ‘Petapa’—di sini mencurahkan julukan<br />

yang gemerlap kepada Beliau.<br />

312. Spk: Bhikkhu itu berpikir, “Apa gunanya hidup?” berbaring<br />

dan mengiris urat lehernya dengan pisau. Rasa sakit muncul. Ia<br />

menahannya, memahami sakit itu (dengan pandangan terang),<br />

penuh perhatian, mengamati subjek meditasinya, dan mencapai<br />

Kearahatan sebagai “jatuh pada saat yang sama” (samasīsī; baca<br />

Pp 13,25-27, yang dikomentari pada Pp-a 186-87). Ia adalah se-

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!