20.06.2013 Views

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Boe Kie bangkit dan memeluknya. Dengan ringkas ia menceritakan segala pengalamannya<br />

sejak ia berpisah dengan ayah angkatnya itu. Hanya satu hal yang tidak diceritakannya yaitu<br />

tentang kedudukannya sebagai Kauwcoe dari Beng-kauw. Kalau ia terangkan, orang tua itu<br />

pasti akan menjalankan penghormatan terhadapnya.<br />

Cia Soen merasa seperti mimpi tapi sekarang ia percaya apa yang didengarnya. Selagi Boe<br />

Kie bercerita, berulang-ulang ia berkata, “Langit mempunyai mata! Langit mempunyai<br />

mata!....”<br />

Baru selesai Boe Kie menuturkan pengalamannya, mendadak di buritan perahu terdengar<br />

teriakan beberapa orang anak buah, “Perahu musuh mengejar! O hoi! Perahu musuh<br />

mengejar!”<br />

Buru-buru Boe Kie pergi ke buritan kapal. Benar saja ia melihat sebuah perahu besar dengan<br />

lima layar sedang mengejar dengan kecepatan luar biasa. Di antara kegelapan sang malam, ia<br />

tak bisa melihat badan perahu itu, tapi layarnya yang putih sangat menyolok mata. “Padamkan<br />

penerangan!” teriaknya. Ia mengambil mangkok teh juru mudi dan menimpuk lentera angina<br />

yang terpancang di puncak tiang layar.<br />

“Trang!” lentera hancur, apinya padam dan perahu gelap gulita. Tapi biarpun begitu karena<br />

layar berwarna putih, perahu itu masih tetap tidak bisa menyembunyikan diri, saat layar-layar<br />

diturunkan, perahu musuh akan segera menyandak.<br />

Boe Kie bingung, perahu musuh lebih ringan dan makin lama makin mendekati. Ia tidak bisa<br />

berbuat lain daripada menunggu kedatangan musuh. Ia berharap di dek perahu yang sempit<br />

Sam soe tidak bisa bekerja sama sebaik di daratan. Cepat-cepat ia memindahkan Tio Beng<br />

dan In Lee ke kamar yang lebih aman, kemudian ia pergi ke geladak kapal dan mengambil<br />

tiga buah jangkar besar yang lalu ditaruh di kamar kedua gadis itu sebagai rintangan. Setelah<br />

itu ia menunggu musuh untuk melakukan pertempuran hidup mati.<br />

Tiba-tiba terdengar suara “dung!” yang sangat hebat dan perahu bergoncang keras dan diikuti<br />

muncratnya air laut.<br />

“Musuh menembak dengan meriam!” teriak anak buah di buritan perahu. Untung juga peluru<br />

yang ditembakkan jatuh ke air di samping perahu tersebut.<br />

Selagi Boe Kie kebingungan, Tio Beng menghampirinya. Ia mendekat.<br />

“Jangan takut,” bisik nona Tio. “Kita pun mempunyai meriam.”<br />

Boe Kie tersadar. Dengan berlari-lari ia naik ke geladak dan memerintahkan anak buah<br />

perahu untuk segera menyingkirkan semua jala yang menutupi meriam. Dengan tergesa-gesa,<br />

mereka mengisi meriam dengan obat peledak dan peluru dan menyulut sumbunya. “Dung!”<br />

peluru menyambar musuh. Hanya sayang, tembakan itu meleset dan peluru jatuh di antara<br />

kedua perahu, karena dalam rombongan anak buah perahu Goan, yang sebagian besar terdiri<br />

dari boesoe gedung Jie lam ong, tak terdapat meriam. Tapi biarpun begitu, karena melihat<br />

pihak Boe Kie juga memiliki meriam, perahu Persia itu tak berani terlalu mendekat. Beberapa<br />

saat kemudian, perahu musuh melepaskan tembakan dan peluru jatuh di kepala perahu yang<br />

segera saja terbakar.<br />

To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1070

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!