20.06.2013 Views

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Badan mereka melayang ke bawah dengan cepatnya.<br />

Jarak antara kedua dinding jurang tidak begitu lebar dan selagi melayang jatuh beberapa kali,<br />

Coe Tiang Leng melihat pohon-pohon yang tumbuh di dinding dan cabang-cabang melonjor<br />

ke luar. Beberapa kali ia menjambret tapi selalu gaga. Paling belakang, jambretannya kena,<br />

tapi sebab te<strong>naga</strong> jatuhnya mereka terlampau hebat maka, dengan mengeluarkan suara krekek,<br />

cabang siong itu yang sebesar lengan patah dari pohonnya.<br />

Walaupun begitu, kejadian ini merupakan pertolongan. Biarpun cabang itu patah, jatuhnya<br />

mereka jadi tertahan dan Coe Tiang Leng tentu saja sungkan menyia-nyiakan kesempatan<br />

baik itu. Dengan meminjam te<strong>naga</strong>, ia mengangkat kedua kakinya dengan gerakan Ouw<br />

Liong Jiauw Cu (Naga Hitam Melibat Tiang), ia memeluk dahan dengan kedua betisnya.<br />

Dilain saat ia sudah mengangkat tubuh Boe Kie dan mendudukkannya di atas sebuah cabang,<br />

tapi tangannya tetap mencekal baju si bocah, sebab ia kuatir anak itu akan melompat lagi.<br />

Melihat ia bakal mati dan tetap tak bisa terlolos dari tangan si orang she Coe. Boe Kie<br />

berduka bukan main dan berkata dengan suara membenci, Coe PehPeh, biar bagaimana hebat<br />

kau menyiksa aku, jangan harap aku akan menuntun kau ke tampat persembunyian Gie Hu.<br />

Ketika itu Coe Tiang Leng sendiri sudah duduk di atas satu cabang. Ia mendongak ke atas.<br />

Mereka ternyata sudah jatuh terlalu dalam. Apa yang dilihatnya hanyalah langit. Sedang Boe<br />

Liat dan yang lain sudah tak kelihatan bayangannya. Walaupun bernyali besar, ia menggigil<br />

dan dahinya mengeluarkan keringat dingin.<br />

Sesudah menentramkan hatinya, ia tertawa dan berkata, Saudara kecil, apa katamu? Aku tidak<br />

mengerti, janganlah kau memikir yang tidak-tidak.<br />

Segala tipu busukmu sudah kuketahui. Jawabnya mendongkol. Sekarang segala tipumu sudah<br />

tidak berguna lagi. Andaikata kau memaksa aku untuk mengantar kau ke Peng Hwee To, aku<br />

bisa menunjuk jalan dengan sembarangan supaya kita sama-sama mampus dimakan lautan.<br />

Apa kau kira aku takut berbuat begitu?<br />

Coe Tiang Leng mengerti, bahwa ancaman itu bukan omong kosong. Ia tahu, bahwa terhadap<br />

Boe Kie yang nekat, ia tidak bisa menggunakan kekerasan.<br />

Orang satu-satunya yang bisa menaklukkan si bocah adalah puterinya sendiri. Mamikir<br />

begitu, ia lantas saja mengerahkan Lweekang dan berteriak, Kami selamat! Jangan khawatir!<br />

Teriakan itu menggetarkan seluruh lembah.<br />

Kami selamat!... Kami selamat!... Jangan khawatir!...<br />

Tiba-tiba Coe Tiang Leng ingat sesuatu, Celaka! ia mengeluh, Aku tidak boleh berteriak<br />

begini di gunung salju.<br />

Hampir berbareng, gumpalan-gumpalan salju putih meluruk turun dari dinding jurang.<br />

Untung juga salju tidak begitu tebal. Sehingga tidak membahayakan. Tapi Coe Tiang Leng<br />

tidak berani berteriak lagi. Ia menghela nafas dan sambil mengawasi keempat penjuru, ia<br />

mengasah otak untuk mencari jalan keluar. Ke bawah, jurang itu belum kelihatan dasarnya<br />

dan andaikata mereka bisa turun sampai ke dasar jurang, disitu belum tentu ada jalan keluar.<br />

Untuk memanjat ke atas dari dinding yang satu, sukar dapat dilakukan, karena dinding batu<br />

To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 578

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!