20.06.2013 Views

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

si pencegat. Pengemis itu mengucek matanya. Ia merasa heran. Apa ia salah lihat? Ke mana<br />

perginya manusia yang tadi kelihatan mendatangi?<br />

Mulai dari situ, sepanjang jalan di jaga keras. Boe Kie segera mengeluarkan ilmu<br />

meringankan badan. Dengan matanya yang sangat jeli, ia bisa lihat penjaga-penjaga yang di<br />

tempatkan di antara rumput-rumput tinggi, di belakang pohon atau di belakang batu besar.<br />

Sebaliknya daripada jadi halangan, orang-orang itu merupakan penunjuk jalan. Sesudah<br />

berlari-lari empat lima li penjagaan makin rapat. Kepandaian orang-orang itu kalah jauh dari<br />

Boe Kie tapi meloloskan diri dari mata mereka di tengah hari benar-benar bukan pekerjaan<br />

kecil, arah satu kelenteng di lereng gunung ia menduga bahwa perhimpunan Kay pang akan<br />

dilansungkan di rumah berhala itu.<br />

Setibanya di situ, ia lihat papan nama yang tertulis “Bie lek Sin bio Kelenteng bie lek hoat”.<br />

Kelenteng itu besar, indah dan angker, “Dengan memilih tempat di sini, pertemuan mungkin<br />

akan dihadiri oleh banyak tokoh-tokoh penting,” pikirnya. “Kalau aku membaurkan diri di<br />

antara mereka, mereka mungkin sadar.” Ia lalu mengamat-amati keadaan di sekitarnya. Di<br />

dalam pekarangan sebelah kiri di depan toa tian (ruangan besar) terdapat sebuah pohon siong<br />

tua, sedang di sebelah kanannya berdiri pohon pak. Kedua pohon itu rindang daunnya, besar<br />

dan tinggi, lebih tinggi banyak dari atap toa tian. Ia segera pergi ke belakang kelenteng dan<br />

melompat ke atas genteng. Dengan merunduk, ia mengayun dan sekali melompat ia sudah<br />

berada di pohon siong. Sambil memeluk sebatang cabang besar ia melongok ke bawah dan ia<br />

bersorak di dalam hati, sebab dari situ ia bisa memandang ke seluruh toa tian.<br />

Lantai Tay hiong Po tian ternyata sudah penuh dengan pengemis yang berjumlah kira-kira<br />

tiga ratus orang. Mereka semua menghadap ke dalam sehingga melompatnya Boe Kie ke<br />

pohon tak dilihat mereka. Dalam ruangan itu terdapat lima lembar tikar yang masih kosong.<br />

Rupa-rupanya kelima pemimpin masih ditunggu kedatangannya. Apa yang sangat menyolok<br />

adalah kesunyian di ruangan itu. Ratusan pengemis duduk dengan tegak tanpa mengeluarkan<br />

sepatah kata. Dalam hati Boe Kie memuji. Walaupun derajat Kay pang sudah banyak merosot<br />

dan meskipun di waktu biasa kawanan pengemis itu sering menunjukkan sikap tak pantas<br />

pada tata tertib partai.<br />

Di tengah-tengah Tay hiong Po tian duduk patung Bie lek hoed dengan perut yang gendut,<br />

mulut tertawa lebar dan paras muka yang sangat ramah.<br />

Selagi Boe Kie memperhatikan semua itu tiba-tiba terdengar teriakan seseorang. “Ciang-poen<br />

Liong-tauw tiba!”<br />

Semua pengemis serentak berdiri tegak dan menundukkan kepala. Dengan tangan memegang<br />

sebuah mangkok somplak, Ciang-poen Liong-tauw melangkah keluar dan lalu berdiri di<br />

sebelah kanan.<br />

“Ciang-pang Liong-tauw!” orang itu berteriak pula.<br />

Tiang-loo yang mukanya seperti Cioe Cong muncul dengan kedua tangan menyangga tongkat<br />

bambunya yang berkilauan. Ia berjalan dengan langkah lebar dan lalu berdiri di sebelah kiri.<br />

Sesudah itu terdengar teriakan ketiga, “Cie-hoat Tiang-loo!” (Tetua yang memegang undangundang)<br />

To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1136

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!