20.06.2013 Views

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Semua huruf itu indah dan angker, seakan <strong>naga</strong> atau burung Hong. Ayahanda Boe Kie<br />

seorang sasterawan dan ia sendiri mempunyai pengetahuan lumayan dalam Soe hoa (seni<br />

menulis huruf indah). Melihat bahwa dalam keangkerannya, huruf itu mempunyai sifat yang<br />

ayu, ia segera mengetahui bahwa penulisnya bukan lain daripada nona Tio sendiri. Ilmu surat<br />

Boe Kie tidak tinggi, tapi karena arti sajak itu tak terlalu mendalam, ia masih bisa mengerti<br />

bunyinya.<br />

Dilihat begini, It thian kiam benar berada dalam tangannya, katanya di dalam hati. Dalam<br />

sajak itu ia mengatakan, bahwa pedang menikam perut siluman, pedang menyabet kepala<br />

pengkhianat. Kata-kata ini menunjuk bahwa ia memiliki jiwa ksatria. Tapi pernyataannya<br />

bahwa pedang harus disimpan untuk <strong>membunuh</strong> kauw, jangan dijajal untuk membacok<br />

anjing, menunjukkan kesombongan. Pian liang Tio Beng kalau begitu ia orang Pian liang, she<br />

Tio bernama Beng. Memikir begitu, ia lantas saja berkata, Tio kouw nio boen boe coan cay.<br />

Aku sungguh merasa sangat kagum. Kalau begitu nona berasal dari keluarga sasterawan di<br />

ibukota jaman yang lampau.<br />

Si nona bersenyum. Ayahanda Thio Kauwcoe yang bergelar Gin kauw Tiat hoa itu barulah<br />

merupakan seorang sasterawan kelas satu katanya.<br />

Thio Kauw coe sendiri tentunya memiliki ilmu surat turunan. Sebentar aku ingin memohon<br />

supaya Thio Kauw coe suka menulis sebuah sajak.<br />

Paras muka Boe Kie lantas saja berubah merah. Waktu baru usia sepuluh tahun kedua orang<br />

tuanya meninggal dunia dan ia belum keburu belajar banyak dari mendiang ayahnya.<br />

Belakangan ia belajar ilmu ketabiban dan ilmu silat, sedang pengetahuannya dalam ilmu surat<br />

dapat dikatakan masih cetek sekali. Maka itu, ia lantas saja berkata, Kalau Kauw nio meminta<br />

aku menulis sajak seperti juga kau minta jiwaku. Sian hoe (mendiang ayahku) meninggalkan<br />

aku selagi aku masih kecil dan aku belum keburu memetik pelajarannya. Dalam hal ini,<br />

sungguh merasa sangat malu.<br />

Begitu lekas semua tamu duduk, pelayan segera menyuguhkan the.<br />

Dengan rasa heran, Yo Siauw dan kawan-kawannya mengawasi cangkir teh. Dalam cangkircangkir<br />

itu yang berwarna hijau mengambang daun teh Liong ceng yang masih segar dan<br />

yang menyiarkan bebauan sedap. Liong ceng adalah teh keluaran Kang lam dan tempat<br />

dimana mereka terpisah ribuan li dari Kang lam. Cara bagaimana si nona bisa mendapatkan<br />

daun the Liong ceng yang masih segar.<br />

Tio Beng mengangkat cangkirnya terlebih dahulu, meneguk isinya dan kemudian<br />

mengundang para tamunya minum. Sesudah beromong-omong beberapa saat, ia berkata,<br />

Kalian datang dari tempat jauh dan untuk pelayanan yang serba kurang ini, aku minta kalian<br />

suka memaafkan. Mungkin sekali kalian sudah lapar dan aku mengundang kalian makan saja<br />

disini seada-adanya. Seraya begitu tanpa menunggu jawaban, ia berbangkit dan mengajak<br />

para tamunya masuk ke dalam. Sesudah melewati beberapa lorong dan bangunan, tibalah<br />

mereka di sebuah taman bunga.<br />

Taman bunga itu yang sangat luas dihias dengan gunung-gunungan batu dan empang-empang.<br />

Pohon-pohon kembangnya tidak banyak, tapi diatur secara indah sekali. Boe Kie sendiri tidak<br />

dapat menghargai keindahan taman itu, tapi Yo Siauw, begitu melihatnya lantas saja<br />

To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 846

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!