20.06.2013 Views

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Hati Boe Kie seperti disayat ratusan pisau. Ia ingat, bahwa ia sendiri pernah menangis begitu<br />

sambil memeluk jenazah kedua orang tuanya. Tanpa merasa, air mata mengalir turun dikedua<br />

pipinya.<br />

Sesudah kenyang memeras air mata Boe Kie ingat pesan sang bibi dan segera mengambil<br />

keputusan untuk menunaikan tugas itu. Ia hanya tahu bahwa orang itu bertempat tinggal<br />

dipuncak Co bong hong, dipegunungan Koen loan san. Ia tak tahu dimana adanya gunung itu<br />

yang sebenarnya berada dalam jarak berlaksa li. Dilain saat, ia juga ingat, bahwa sebelum<br />

meninggal dunia, sang bibi meraba dada, seperti mau mengeluarkan sesuatu. Ia lantas saja<br />

meraba leher Siauw Hoe dan mengeluarkan sepotong Kiat (??) pay (lembaran besi) yang<br />

atasnya diukir gambar setan yang menyeringai dan mengangkat cakarnya. Pay tersebut<br />

digantung dileher Siauw Hoe dengan selembar tali.<br />

Boe Kie tak tahu apa adanya benda itu, tapi ia lalu membukanya dan kemudian<br />

menggantungnya dileher Poet Hwie. Sesudah itu, ia mengambil cangkul menggali sebuah<br />

lubang dan lalu menguburkan jenazah Siauw Hoe. Ketika itu karena lelah, Poet Hwie sudah<br />

pulas. Waktu si nona cilik tersadar, dengan berbagai akal ia coba membujuknya, antara lain ia<br />

mengatakan, bahwa sang ibu telah terbang kelangit dan nanti, sesudah sekian lama akan<br />

kembali didunia. Dasar anak kecil, si nona akhirnya dapat juga dilabui.<br />

Malam itu, sesudah masak nasi dan makan secara sembarangan, Boe Kie yang sudah terlalu<br />

capai, tidur pulas dengan nyenyak sekali. Pada kepaginya, setelah membuntal pakalan dalam<br />

dua buntalan kecil, ia mengajak Poet Hwie untuk memberi selamat tinggal dan memohon<br />

keberkahan. Sesudah itu, kedua yatim piatu berjalan keluar dari Oaw tiap kok....<br />

Boe Kie sama sekali tidak bersenjata. Semula ia ingin membawa potongan tongkat San ouw<br />

kim, tapi dicari-cari, tidak ketemu dan ia menduga, bahwa potongan senjata itu telah dibawa<br />

oleh Teng Bin koen. Mengenai bekal, ia hanya mempunyai tujuh delapan tahil perak yang<br />

diambilnya dari buntalan Kie Siauw Hoe. Ia tak tahu di mana adanya Koen loen san. Ia hanya<br />

menduga, bahwa gunung itu jauh sekali dan uang sebegitu tentulah sangat tidak mencukupi.<br />

Tapi apakah yang dapat diperbuat olehnya?<br />

Sesudah berjalan setengah hari, barulah mereka keluar dari selat Ouw tiap kok. Karena Poet<br />

Hwi masih sangat kecil, mereka maju dengan lambat sekali. Sebentar mengaso, sebentar jalan<br />

lagi. Pada malam,itu mereka berada di delam hutan dan diantara kegelapan malam, mereka<br />

mendengar macam-macam binatang burung hantu. Poet Hwie ketakutan dan mulai menangis<br />

keras. Boe Kie juga takut, tapi dalam keadaan, begitu mau tidak mau ia terpaksa harus<br />

membesarkan hati. Tiba tiba ia malihat sebuah guha. Hatinya jadi girang benar, dan sambil<br />

menuntun Poet Hwie, ia masuk ke dalam guha itu. Dengan kedua tangan ia menekap kuping<br />

si nona supaya dia tidak mendengar suara-suara yang menakutkan.<br />

Dengan menahan rasa lapar, haus dan takut, kedua anak itu melewati sang malam. Pada<br />

keesokan paginya, Boe Kie mencari bebuahan hutan untuk menangsal perut dan kemudian<br />

mereka meneruskan perjalanan. Di waktu magrib, selagi enak-enak berjalan, sekonyongkonyong<br />

poet Hwie berteriak dan tangannya menuding sebuah pohon. Boe Kie menengok. Ia<br />

terkasiap dan sambil menarik tangan Poet Hwie, ia segera lari. Yang dilihat mereka adalah<br />

dua mayat yang menggelantung di pohon itu. Baru saja belasan tombak, kaki Boe Kie<br />

tersandung batu dan roboh terguling. Waktu merangkak bangun, dengan memberanikan hati,<br />

ia menengok kepohon dan tanpa merasa ia berteriak. "Ouw Sinshe!" Waktu ia menengok,<br />

secara kebetulan angin meniup dan mayat itu terputar, sehingga mukanya menghadapi Boe<br />

To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 492

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!