20.06.2013 Views

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Tiba-tiba dari belakang batu terdengar suara Goan-tin. Bangsat kecil! Hari ini aku mengubur<br />

engkau di dalam. Tapi untungnya masih bagus, kau mampus dengan ditemani seorang wanita.<br />

Biarpun kau berte<strong>naga</strong> besar, aku mau lihat apa kau mampu menyingkirkan batu ini. Kalau<br />

satu tak cukup, aku akan menambah dengan satu lagi.<br />

Hampir berbarengan terdengar suara diangkatnya batu dengan semacam alat besi diikuti<br />

dengan bunyi yang sangat hebat. Goan-tin ternyata sudah melepaskan sebuah batu lagi yang<br />

jatuh di atas batu pertama.<br />

Dengan gusar dan bingung Boe Kie meraba batu itu. Walaupun jalanan tak tertutup rapat tapi<br />

celah-celah di antara dinding dan batu raksasa itu paling besar hanya bisa masuk lengan.<br />

Badan manusia sudah pasti tak bisa lewat. Sambil memompa semangat, ia mendorong sekuatkuatnya,<br />

tapi batu itu sedikitpun tak bergeming. Kedua batu yang tersusun tindih itu beratnya<br />

berlaksa kati, tak bisa digeser oleh manusia manapun juga. Bahkan gajah takkan kuat untuk<br />

mendorongnya. Boe Kie berdiri terpaku, ia tak tahu apa yang harus diperbuatnya.<br />

Di belakang batu terdengar suara nafas Goan-tin yang tersengal-sengal. Dalam keadaan<br />

terluka berat, sesudah menggerakkan kedua batu itu te<strong>naga</strong>nya habis. Selang beberapa saat, ia<br />

bertanya, Bocah siapa namamu. Ia tak dapat meneruskan perkataannya.<br />

Andaikata ia sekarang berubah pikiran dan ingin menolong kami berdua, ia sudah tak bisa<br />

berbuat begitu, kata Boe Kie dalam hati. Sudahlah, buat apa aku meladeni dia. Paling baik aku<br />

cari jalan lain. Berpikir begitu, ia memutar badan dan turun ke bawah mendekati nona.<br />

Aku punya bahan api, tapi tak punya lilin, kata si pelayan kecil, Kalau dinyalakan sebentar<br />

tentu sudah padam kembali.<br />

Tunggu dulu, kata Boe Kie sambil berjalan maju dengan perlahan. Sesudah berjalan beberapa<br />

puluh langkah, mereka tiba di ujung terowongan. Mereka meraba-raba, mendadak tangan Boe<br />

Kie menyentuh tahang kayu. Ada jalan, katanya dengan girang dan memukul hancur tahang<br />

itu dengan kedua tangannya.<br />

Isi tahang yang menyerupai tepung, jatuh berhamburan. Ia mengambil sepotong papan dan<br />

berkata, Coba nyalakan api.<br />

Nona kecil itu lalu mengeluarkan baja pencetus api, batu api dan sumbu. Dengan cepat ia<br />

membuat api dan menyulut potongan kayu itu. Mendadak api itu menyala di potongan kayu<br />

yang lantas saja terbakar, sedang hidung mereka mengendus bau belerang. Mereka terkejut.<br />

Bahan peledak! seru si nona seraya mengangkat tinggi-tinggi potongan kayu yang sudah<br />

menyala itu. Mereka lantas saja mendapati kenyataan bahwa isi tahang itu ternyata bahan<br />

peledak yang berwarna hitam. Si nona tertawa dan berkata dengan suara pelan. Bila barusan<br />

letusan api menyambar ketumpukan bahan peledak itu, hwee-shio jahat yang berada di luar<br />

akan turut binasa bersama-sama kita. Seraya berkata begitu, ia menengok ke arah Boe Kie<br />

yang tengah mengawasinya dengan mata membelalak. Mengapa? tanyanya tertawa.<br />

Ah Kalau begitu, kau sangat cantik, kata Boe Kie.<br />

To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 722

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!