20.06.2013 Views

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

diruangan yang gelap itupun salah. Dalam detik itu, di atap rumah terdengar suara<br />

berkeresekan dan bagaikan angin, Cie Jiak sudah berlalu.<br />

"Apa benar kau sudah bertunangan sama dia?" bisik Tio Beng.<br />

"Benar," jawabnya. "Aku tidak boleh berdusta.“<br />

"Hari itu waktu bersembunyi dibelakang pohon, kudengar perkataan-perkataanmu yang penuh<br />

kecintaan, yang manis seperti madu. Ketika itu, aku ingin lantas mati, aku tak mau hidup lebih<br />

lama lagi di dunia ini. Aku tertawa dingin dua kali. Sekarang ia membalasnya. Tapi . . . tapi . .<br />

. dari mulutmu aku tidak pernah mendengar sepatah katapun yang bisa menghibur hatiku ..."<br />

"Tio Kouwnio, sebenarnya aku tidak boleh datang kesini lagi, tidak boleh bertemu muka lagi<br />

dengan kau. Aku sudah mengikat janji dan aku tak pantas melakukan sesuatu yang dapat<br />

membangkitkan rasa dukamu. Tio Kouwnio ibarat pohon kau bercabang emas dan berdaun<br />

kemala. Mulai dari sekarang kau harus melupakan aku ...."<br />

Tio Beng memegang tangan Boe Kie dan mengusap-usap tanda bekas luka dibelakang tangan<br />

itu. "Luka ini karena gigitanku." katanya, "Biarpun ilmu silatmu tinggi, biarpun ilmu<br />

ketabibanmu tinggi, tak bisa kau menghilangkan tanda luka dalam hatiku?" Sehabis berkata<br />

begitu, ia menatap wajah Boe Kie dengan air mata yang tak bisa dilukiskan. Sekonyongkonyong<br />

kedua tangaanya memegang kepala Boe Kie dan ia . . .. menggigit bibir pemuda itu<br />

sehingga mengeluarkan darah! Sesudah itu ia mondorong dan melompat keluar dari jendela.<br />

"Penjahat cabul! Aku benci kau!... aku benci kau ...“ serunya.<br />

*****<br />

SESUDAH Boe Kie dan Pheng Eng Giok berlalu, Han Lim Jie berkata "Cioe Kouwnio, kau<br />

tidurlah siang-siang." Sehabis berkata begitu, ia segera berlalu dan pergi ke kamarnya sendiri.<br />

Cie Jiak tertawa, “Han Toako," katanya. "Mengapa kau begitu takut? Duduk omong omong<br />

sebentar saja kau tidak mau."<br />

"Tidak ! tidak!" jawabnya. Ia mempercepat tindakannya, masuk ke kamarnya dan lalu<br />

menapal pintu.<br />

Sambil rebah diatas pembaringan batu, ia membayangkan kecantikan dan kehalusan Cie Jiak<br />

yang dipandangnya seperti dewi. Tak lama kemudian ia tertidur.<br />

Kira-kira tengah malam mendadak pintu terketuk. Ia melompat bangun dan bertanya,<br />

"Siapa?"<br />

"Aku,“ demikian terdengar suara Cie Jiak. "Buka pintu! Aku ingin bicara denganmu."<br />

Han Lim Jie melompat turun dari pembaringan, membuka tapal pintu dan menyalakan lilin.<br />

Dengan kaget ia lihat kedua mata si nona yang merah dan sikapnya yang luar biasa. "Cioe<br />

Kauwnio, kau . . . kau. . . kenapa?" tanyanya. Untuk sejenak ia berdiri terpaku dan kemudian<br />

sambil lari keluar ia berkata, "Aku mau ambil air." Tak lama kemudian ia masuk lagi dengan<br />

membawa sepaso air. "Kau . . . cucilah mukamu," katanya.<br />

To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 12<strong>29</strong>

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!