20.06.2013 Views

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Mendengar perkataan sinona, orang itu kelihatan girang sekali. "Dari kata2mu. nona ternyata<br />

mahir dalam ilmu memetik khim," katanya sambil bersenyum. "Jika sudi, aku memohon nona<br />

suka perdengarkan satu dua lagu."<br />

"Memang benar aku pernah belajar menabuh dari ibuku, tapi jika dibandingkan dengan<br />

kepandaianmu, aku masih kalah jauh sekali," kata sinona. "Tapi jika menolak terlalu keras,<br />

aku merasa tak enak hati. Biarlah aku akan mendengarkan sebuah lagu. Tapi jangan tertawa."<br />

"Bagaimana aku berani ?" kata orang itu sambil mengangsurkan khimnya dengan kedua<br />

tangan.<br />

Khim itu sudah berusia tua dan enteng se kali. Sesudah mengakurkan tali2nya. Kwee Siang<br />

segera memetik lagu Kho phoa. Kepandaian sinona memang tidak seberapa tinggi dan lagu<br />

yang didengarnya tidak luar biasa. Tapi walaupun begitu, pada paras muka orang itu terlukis<br />

rasa kaget tercampur girang. Mengapa? Karena lagu Kho phoa mengenakan jitu pada apa<br />

yang dipikirnya, sehingga ia merasa amat girang dan berterima kasih ter hadap sinona.<br />

Sesudah selesai Kwee Siang menabuh, untuk beberapa saat ia masih bengong dengan mata<br />

mengawasi ketempat jauh.<br />

Syair lagu Ko phoa diambil dari Sie keng (Kitab Syair). Itulah sebuah nyanyian dari seorang<br />

Tay soa, seorang yang mengasingkan diri dari pergaulan umum.<br />

Dalam syair itu dikatakan bahwa cita2 yang luhur dari seorang laki2 sejati yang berkelana<br />

sebatangkara didaerah pegunungan tidak akan berubah, biarpun pada mukanya terlihat sinar<br />

kedukaan dan didalam hatinya terdapat rasa kesepihan.<br />

Perlahan2 si nona menaruh khim diatas tanah dan tanpa mengeluarkan sepatah kata lalu<br />

barjalan pergi, akan kemudian melompat keatas punggung keledai dan meneruskan perjaanan<br />

yang tak tentu rimbanya.<br />

Siang dan malam lewat dengan cepatnya dan dalam sekecap tibalah hari kesepuluh, yaitu hari<br />

yang dijanjikan Koen loen Sam seng untuk menyataroni Siauw lim sie. Sudah berapa hari<br />

Kwee Siang mengasah otak untuk mencari daya guna masuk kekuil Siauw lim sie, tapi ia<br />

belum juga berhasil." Sungguh malu aku menjadi anak ibuku", pikirnya dengan mendongkol.<br />

"Ibuku begitu pintar, anaknya sedemikian tolol. Biarlah aku datang saja diluar kuil dan<br />

menunggu kesempatan. Mungkin sekali, selagi repot berkelahi, mereka tak sempat merintangi<br />

aku."<br />

Pagi itu sudah menangsal perut dengan makanan kering, ia tujukan keledainya ke Siauw lim<br />

sie. Waktu berada dalam jarak kurang lebih sepuluh li dari kuil, tiba2 ia mendengar suara kaki<br />

kuda dan dari jalanan gunung di sebelah kaki kelihatan mandatangi tiga penunggang kuda.<br />

Ketiga ekor kuda itu satu bulu dauk, satu kuning dan satu lagi putih bertubuh tinggi besar dan<br />

cepat sekali larinya. Dalam sekejap, mereka sudah melewati sinona dan menuju kearah kuil.<br />

Ketiga penunggang kuda itu rata2 berusia kira2 limapuluh tahun. Mereka mengenakan baju<br />

pendek warna hijau dan diatas pelana masing2 tergantung kantong kain yang berisi alat<br />

senjata. " Ah! Mereka tentulah Koen loen Sam seng, " pikir Kwee Siang. "Jika terlambat,<br />

bisa2 aku ketinggalan nonton."<br />

To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 28

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!