20.06.2013 Views

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

“Cie Jiak, sudahlah! Jangan memikir yang tidak2. Mana bisa terjadi kejadian itu?”<br />

“Baiklah!” kata Boe Kie sambil tertawa.<br />

“Aku berjanji takkan berubah pikiran, tak akan <strong>membunuh</strong> kau.”<br />

Cie Jiak menatap wajah Boe Kie, “Aku tak mau kau memberi janji sambil tertawa-tawa,”<br />

katanya. “Aku menuntut kau bersungguh.”<br />

“E-eh!... Ada apa yg masuk kedalam otakmu?” tanya Boe Kie sambil tertawa geli. Tapi<br />

didalam hati dia berkata.<br />

“Dasar aku yg salah. Ia rupa2nya masih berkuatir, karena sikapku yg penuh kecintaan<br />

terhadap Tio Beng. Siauw Ciauw dan piauw moay.” Memikir begitu, dia lantas saja berkata<br />

dengan sungguh2. “Cie Jiak, kau istriku. Kalau dahulu hatiku banyak bercabang, sekarang<br />

lain keadaannya. Aku berjanji, bahwa mulai detik ini, aku takkan berubah pikiran<br />

terhadapmu. Andai kata kau bersalah, andai kata kau berdosa, aku bahkan takkan mencaci<br />

kau.”<br />

Si nona menghela napas. “Boe Kie koko,” katanya. “Kau seorang laki2 yang sejati. Kuharap<br />

dihari kemudian, kau tidak akan melupakan perkataanmu yg dikeluarkan pada malam ini.” Ia<br />

menuding bulan sisir yg baru muncul “Boe Kie koko, sang rembulan menjadi saksi kita<br />

berdua.”<br />

“Benar,” kat Boe Kie, “Kau benar. Sang rembulan menjadi saksi.” Sambil mengawasi dewi<br />

malam itu ia berkata pula.<br />

“Cie Jiak, selama hidup, sering sekali aku dihina orang. Sebab terlalu percaya manusia, sering<br />

sekali aku menderita. Entah berapa kali, aku tak ingat lagi. Hanyalah pada waktu berada di<br />

Peng hwee to bersama ayah, ibu dan Giehce, aku terbebas dari segala kelicikan manusia<br />

rendah. Waktu aku baru tiba di Tiong goa, seorang pengemis sedang bermain main dengan<br />

seekor ular, telah menipu aku. Dia membujuk supaya aku melongok kedalam karungnya<br />

untuk melihat ularnya dan tiba2 ia menangkrup dengan karungnya itu. Lihatlah sekarang. Kita<br />

datang dipulau ini dnegna sama sama menderita. Siapa nyana pada malam pertama, Tio<br />

Kouwnio telah menaruh racun dimakanan kita dan kabur dengan perahu yg satu2nya?”<br />

Si nona tersenyum. “Sudahlah,” katanya, “Menyesalpun tiada gunanya.”<br />

Tiba2 gelombang rasa bahagia bergolak golak dalam dada Boe Kie. “Cie Jiak,” bisiknya.<br />

“Kau adalah manusia yg berada paling dekat denganku. Kau selalu memperlakukan aku<br />

dengan penuh kecintaan. Dihari kemudian, sesudah kita pulang dari Tiong goan, kau dapat<br />

membantu aku untuk berjaga jaga terhadap manusia2 rendah. Dengan bantuanmu, aku boleh<br />

tak usah mengalami lebih banyak penderitaan lagi.”<br />

Si nona menggelengkan kepalanya, “Aku seorang yg tak punya guna,” katanya.<br />

“Aku kalah jauh daripada Tio Kouwnio, bahkan masih kalah dari Siauw Ciauw kouwnio. Apa<br />

kau tahu, bahwa istrimu seorang bodoh?”<br />

To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1124

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!