20.06.2013 Views

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

kasar, seperti bacok kayu, ambil arang, nyalakan api, pikul air dan sebagainya. Ia sengaja<br />

menghitamkan mukanya, sehingga waktu berkaca di air, ia sendiri tidak mengenalinya.<br />

Malam itu, bersama lain-lain pekerja dia tidur di sebuah rumah kecil di samping dapur. Ia<br />

tahu bahwa Siauw lim sie sarang harimau dan di antara pendeta-pendeta yang berkedudukan<br />

rendah kadang-kadang terdapat orang yang berkepandaian tinggi. Maka itu, ia sangat berhati2<br />

setiap gerak geriknya. Selama kurang lebih seminggu, dua kali Ek Sam Nio dan Tio<br />

Beng menyambanginya. Ia bekerja keras, dari pagi sampai malam dan tidak pernah menampik<br />

pekerjaan apapun juga, sehingga pengurus dapur sangat menyayanginya. Iapun bergaul rapat<br />

dengan semua kawan. Tapi mereka tidak berani menanya ini atau itu yang bersangkut paut<br />

dengan Cia Soen. Ia hanya memasang kuping dan mata. Ia berpendapat bahwa manakala ayah<br />

angkatnya berada di Siauw lim sie, orang tentu harus mengantarkan makanan. Kalau tugas<br />

mengantarkan makanan diberikan kepadanya, ia akan bisa tahu dimana ayah angkatnya<br />

dikurung. Tapi sesudah bersabar beberapa hari, ia belum juga menemukan sesuatu yang<br />

memberi harapan.<br />

Pada hari kesembilan, selagi tidur lapat-lapat Boe Kie mendengar bentak-bentakan. Perlahanlahan<br />

ia bangun dan sesudah mendapat kepastian, bahwa semua kawannya sedang tidur pulas,<br />

ia segera pergi ke arah suara itu dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan. Ia sangat<br />

berhati-hati. Saban-saban ia melompat naik ke pohon besar dan memperhatikan keadaan di<br />

seputarnya. Sesudah mendapat kepastian bahwa di sekitar tempat itu tidak ada manusianya,<br />

barulah ia berani maju dan kemudian naik lagi ke atas lain pohon. Tak lama kemudian ia<br />

sudah lihat satu pertempuran yang dilakukan oleh beberapa orang. Ia segera bersembunyi di<br />

belakang pohon dan memperhatikan pertempuran itu. Karena berada di hutan yang gelap, ia<br />

tak bisa lihat mukanya orang-orang yang berkelahi. Ia hanya lihat berkelebat-kelebatnya<br />

senjata dan enam orang yang sedang bertempur, dengan masing-masing pihak terdiri dari tiga<br />

orang. Selang beberapa saat ia mengenali bahwa pihak yang satu itu adalah Ceng hay Sam<br />

kiam yang ketika itu sedang membela diri dengan Sam cay tin palsu. “Tin” itu sangat rapat,<br />

tapi ketiga pendeta Siauw lim yang bersenjata golok ternyata memiliki kepandaian tinggi dan<br />

terus merangsek dengan hebatnya. Tak lama kemudian, salah seorang dari Ceng hay Sam<br />

kiam roboh terbacok. Begitu lekas “tin” itu pecah, pembelaan diri dari dua orang yang masih<br />

hidup lantas kalang kabut. Selang beberapa jurus terdengar teriakan menyayat hati dan<br />

seorang pula roboh terguling. Didengar dari suaranya, yang roboh itu ialah Ma Hoat Thong.<br />

Orang yang terakhir, yang lengannya sudah terluka, terus melawan secara nekat.<br />

Tiba-tiba salah seorang pendeta membentak. “Tahan!” Anggota Ceng hay Sam kiam yang<br />

masih hidup itu yaitu In Ho tetap dikurung, tapi serangan segera dihentikan. “Cang hay Giok<br />

cin koan dengan Siauw lim sie sama sekali tidak bermusuhan,” kata seorang pendeta tua.<br />

Mengapa kamu menyatroni kuil kami di tengah malam?”<br />

“Sesudah kami kalah, perlu apa banyak bicara lagi?” kata In Ho dengan suara parau.<br />

Pendeta tua itu tertawa dingin. “Kamu datang untuk Cia Soen atau untuk To liong to?”<br />

tanyanya pula. “Aku belum pernah dengar, bahwa Giok cin koan bermusuhan dengan Cia<br />

Soen. Huh huh!... kamu tentu datang untuk merebut To liong to. Dengan kepandaian yang<br />

tidak berarti itu, kamu berani menyatroni kuil kami. Selama seribu tahun lebih Siauw lim sie,<br />

kuil kami ini telah memimpin Rimba Persilatan. Aku tak nyana ada orang yang memandang<br />

kami begitu rendah.”<br />

To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1<strong>29</strong>1

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!