20.06.2013 Views

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

“Nada suara pengurus itu nada ketakutan,” kata Cia Soen, “Kita harus berhati-hati.”<br />

Tiba-tiba di bawah tangga loteng terdengar suara langkah kaki ramai-ramai dan tujuh orang<br />

naik ke atas, mereka semua pengemis! Lagak pengemis-pengemis itu sangat keren da mereka<br />

duduk seperti tuan-tuan besar. Pelayan menyambut dengan sikap sangat hormat dan<br />

memanggil mereka dengan istilah “ya” (padaku tuan), seolah-olah mereka orang-orang<br />

berpangkat tinggi.<br />

Boe Kie segera saja mengetahui bahwa mereka itu murid-murid Kay pang yang berkedudukan<br />

agak tinggi, sebab mereka membawa lima atau enam lembar karung. Beberapa saat kemudian<br />

datang lagi lima enam pengemis, disusul dengan rombongan-rombongan lain sehingga jumlah<br />

mereka melebihi tiga puluh orang. Diantara mereka terdapat tiga orang yang membawa tujuh<br />

lembar karung.<br />

Boe Kie mendusin. Kay pang mau mengadakan perhimpunan dan si pengurus rumah makan<br />

menganggap mereka sebagai anggota-anggota partai tersebut. “Giehoe,” bisik Boe Kie,<br />

“Sebaiknya kita berlalu saja supaya tidak terjadi kejadian yang tak enak. Dilihat seluruhnya,<br />

orang-orang Kay pang yang datang ke sini jumlahnya sangat besar.”<br />

Selagi Boe Kie bicara, seorang pelayan datang dengan membawa sepiring daging sapi, ayam<br />

rebus dan lima kali arak putih.<br />

Sudah lebih dua bulan Cia Soen belum pernah makan kenyang dan sekarang ia sedang lapar.<br />

Begitu hidungnya mengendus wanginya daging, tangannya bergerak. “Makan dulu,” katanya.<br />

“Halangan apa kalau kita makan tanpa memperdulikan urusan orang?” Seraya berkata begitu,<br />

ia menuang arak di mangkok dan lalu meneguknya dengan bernapsu. Dua puluh tahun lebih ia<br />

tak pernah mencicipi arak, baginya arak putih yang keras dan pedas itu seolah-olah arak yang<br />

paling baik. Dengan dua kali teguk, semangkok besar sudah menjadi kering.<br />

Tiba-tiba ia menaruh mangkok di meja dan berbisik, “Hati-hati! Dua orang yang kepandaian<br />

tinggi naik ke sini.”<br />

Boe Kie pun sudah mendengar langkah di tangga loteng. Langkah kaki kiri orang yang<br />

berjalan di depan sangat berat, langkah kaki kanannya sangat ringan, sedang yang berjalan di<br />

belakang pun begitu juga, langkah sebelah ringan, sebelah yang lain berat. Tak bisa salah lagi,<br />

mereka mempunyai kepandaian luar biasa. Begitu mereka muncul, semua pengemis serentak<br />

bangun berdiri. Cia Soen bertiga juga turut bangkit. Untung juga mereka duduk di sudut yang<br />

jauh sehingga tidak menyolok mata.<br />

Orang yang pertama bertubuh sedang, tampan dan berjenggot. Kecuali pakaiannya, pada<br />

keseluruhannya ia seperti seorang siaucay yang tak lulus ujian. Yang jalan belakangan keren<br />

sekali. Di mukanya menonjol otot-otot, brewoknya seperti kawat, parasnya galak dan kulitnya<br />

hitam sehingga melihat dia, orang segera ingat Cioe Cong (panglima di jaman Sam kok yang<br />

selalu berdiri di samping Kwan kong). Keduanya berusia lima puluh tahun lebih dan masingmasing<br />

menggendong selembar karung kecil yang tidak bisa dimuatkan suatu apa dan hanya<br />

digunakan untuk menunjuk kedudukan mereka di dalam partai pengemis.<br />

Boe Kie menghela napas. Ia ingat bahwa seratus tahun yang lalu, Kay pang mempunyai nama<br />

yang sangat harum. Dari Tay soehoenya ia tahu bahwa dulu sebagai seorang pangcu, Ang Cit<br />

Kong yang berkepandaian sangat tinggi telah mengabdi kepada rakyat dan selalu bersedia<br />

To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1133

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!