20.06.2013 Views

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

“Kita boleh numpang nginap di situ,” kata si nona.<br />

Boe Kie segera menghampiri dan sesudah memberi hormat, ia berkata. “Loo-tiang, kami<br />

berdua kakak beradik capai sekali dan kami memohon semangkok air dingin.”<br />

Tapi si kakek tidak meladeni. Ia terus menyirami sambil menundukkan kepala.<br />

Tiba-tiba pintu gubuk terbuka dan keluarlah seorang nenek yang rambutnya sudah putih<br />

semua. “Suamiku tuli dan gagu,” katanya sambil tertawa. “Apa yang tuan inginkan?”<br />

“Adikku tak kuat jalan lagi,” jawab Boe Kie. “Kami ingin minta air minum.”<br />

“Masuklah,” kata si nenek.<br />

Gubuk itu bersih, perabotnya bersih dan pakaian si nenek biarpun terbuat dari kain kasar juga<br />

tidak kalah bersihnya. Melihat kebersihan itu, Tio Beng merasa senang. Sesudah minum air ia<br />

mengeluarkan sepotong perak dan berkata sambil tertawa. “Popo, kakakku mengajak aku ke<br />

rumah nenek kami. Lantaran tidak biasa, kakiku sakit bukan main. Apa boleh malam ini kami<br />

numpang nginap? Besok pagi kami akan meneruskan perjalanan.”<br />

“Numpang nginap tidak halangan dan juga tidak perlu mengeluarkan uang,” jawabnya dengan<br />

suara manis. Tapi kami hanya mempunyai sebuah kamar dan sebuah ranjang. Andaikata aku<br />

dan suamiku tidur di luar, kalian berdua kakak beradik tentu tidak boleh tidur seranjang. Hm!<br />

Nona kecil… sebaiknya kau bicara terus terang kepada Popo. Bukankah kau kabur dari rumah<br />

mengikut kakak yang tercinta?”<br />

Muka si nona lantas saja berubah menjadi merah. Di dalam hati ia kaget. Nenek itu<br />

mempunyai mata yang sangat tajam dan dia pasti bukan sembarangan orang. Tanpa merasa ia<br />

melirik orang tua itu beberapa kali.<br />

Walaupun sudah berusia lanjut dan badannya bongkok, ia kelihatan gagah. Kedua matanya<br />

bersinar, sehingga mungkin sekali ia memiliki ilmu silat yang tinggi. Tio Beng tahu, bahwa<br />

roman Boe Kie masih menyerupai seorang petani. Tapi dia sendiri pasti bukan seorang gadis<br />

dusun. Maka itulah, sesudah memikir sejenak, ia lantas saja berkata dengan sikap kemalumaluan.<br />

“Sesudah ditebak Popo, aku tahu tidak boleh berdusta lagi. Dia itu, Goe koko kawan mainku<br />

sedari kecil. Sebab dia miskin, ayah tidak mufakat aku menikah dengannya. Melihat aku mau<br />

bunuh diri, ibu lantas menyuruh aku… aku lari mengikut dia. Kata ibu, sesudah lewat satu<br />

atau dua tahun, sesudah kami mempunyai anak, kami baru boleh pulang. Di waktu itu,<br />

mungkin ayah sudah berubah pikiran. Sambil berkata begitu, dengan sorot mata mencintai,<br />

beberapa kali ia melirih Boe Kie. Sesudah berdiam sejenak, ia berkata pula. “Di kota raja<br />

keluargaku mempunyai muka. Ayah bekerja sebagai pembesar negeri. Apabila kami kena<br />

ditangkap, celakalah kami! Maka itu, sesudah aku bicara terus terang, mohon Popo tidak<br />

membuka rahasia kepada siapapun juga.”<br />

Si nenek tertawa terbahak-bahak dan manggut-manggutkan kepalanya. “Aku sendiri pernah<br />

muda,” katanya. “Kau jangan kuatir! Aku akan menyerahkan kamarku kepada kamu berdua.<br />

Tempat ini terpisah ribuan li dari kota raja dan aku tanggung tidak ada manusia yang akan<br />

To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1281

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!