20.06.2013 Views

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Boe Kie meneruskan perjalanan ke arah barat. Tak lama kemudian, ia menemukan lagi tanda<br />

gambar obor. Di waktu magrib, ia tiba di Hong jiong, sebuah kota besar di Ho pak utara.<br />

Dengan mengikuti tanda obor, ia pergi ke sebuah gedung yang pintu depannya berwarna<br />

hitam. Dengan cincin pintu yang berkilat dan bunga bunga di dalam tembok yang sedang<br />

mekar, gedung itu memperlihatkan suasana tenang dan damai. Ia mengetuk ngetuk pintu dan<br />

tak lama kemudian terdengar tindakan kaki yang enteng. Hampir berbareng dengan<br />

terendusnya bau harum, pinta dibuka oleh seorang pelayan wanita yang mengenakan baju<br />

kulit warna merah. “Sudah lama Kong coe ya tak datang dan Ciecie sangat memikiri kau,”<br />

katanya sambil tersenyum. “Masuklah.”<br />

Boe Kie bingung. “Bagaimana kau kenal aku? Siapa Cieciemu?” tanyanya.<br />

Pelayan itu tertawa. “Ah, jangan berlagak pilon!” jawabnya. “Hayo masuk! Ciecie sudah<br />

menunggu nunggu.” Ia mencekal tangan kanan Boe Kie dan lalu menariknya.<br />

Tak kepalang herannya Boe Kie. Sesudah memikir sejenak ia berkata di dalam hatinya. “Ah<br />

bisa jadi! Bisa jadi Cie Jiak berada di sini. Apa ia sudah menduga bahwa aku akan menyusul<br />

dengan mengikuti tanda tanda obor, ia memerintahkan pelayan ini untuk menyambut. Hai! Ia<br />

tentu sangat menderita.” Memikir begitu, ia lantas saja mengikuti. Sesudah melalui sebuah<br />

jalanan kecil yang tertutup batu dan melewati sebuah pekarangan, mereka tiba di depan<br />

sebuah kamar. Seekor burung kakaktua tiba-tiba berteriak. “Kakak yang tercinta datang!<br />

Ciecie kakak yang tercinta datang!”<br />

Muka Boe Kie lantas saja berubah merah.<br />

Kamar itu sangat indah. Semua kursi teralas bantal sulam dan dengan perapian yang apinya<br />

berkobar kobar, hawa di dalam kamar hangat bagaikan hawa di musim semi. Di atas sebuah<br />

meja kecil menyala hio wangi, di samping tempat hio terletak sebuah khim. Pelayan itu lantas<br />

masuk ke dalam dan keluar lagi dengan tangan menyangga nampan yang berisi enam piring<br />

kecil bebuahan dan sepoci teh. Ia menuang teh dan mengangsurkan cangkir kepada Boe Kie.<br />

Waktu pemuda itu menyambutnya, si pelayan tiba tiba menekan pergelangan tangannya<br />

dengan perlahan. Alis Boe Kie berkerut. “Bagaimana pelayan ini bisa berlaku kurang ajar?<br />

Bukankah tak baik jika dilihat Cie Jiak?” katanya di dalam hati. “Mana Cia looya? Cie<br />

Kouwnio berada di mana?” ia bertanya.<br />

Si pelayan tertawa. “Perlu apa kau tanyakan Cia looya?” jawabnya. “Ciecie akan segera<br />

datang. Kau sungguh tak punya perasaan hati. Sesudah berada di sini, kau masih ingat Cioe<br />

Kouwnio, Ong Kouwnio…”<br />

Boe Kie kaget. “Jangan ngaco kau! Apa kau kata?” ia menegas.<br />

Pelayan itu tertawa pula dan segera berlalu. Tidak lama kemudian ia kembali dengan<br />

menuntun seorang wanita muda yang berusia kira kira duapuluh tiga atau duapuluh empat<br />

tahun, kulitnya putih alisnya kecil bengkok dan di sudut mulutnya terdapat sebuah tahi lalat.<br />

Ia cukup cantik, hanya sinar matanya genit sekali dan ia menghampiri dengan tindakan<br />

gemulai. Alis Boe Kie berkerut karena ia mengendus wewangian yang sangat santer.<br />

To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1193

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!