20.06.2013 Views

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Perlahan-lahan hujan berhenti tapi halimun makin tebal. Mendadak seekor ikan yang beratnya<br />

kira-kira tiga puluh kati melompat masuk ke dalam perahu. Dengan sekali totok, lima jari<br />

tangan Cia Soen amblas di badan ikan. Semua orang girang, Siauw Ciauw mencabut pedang<br />

dan memotong daging ikan menjadi potongan-potongan kecil. Mereka sangat lapar dan<br />

sambil menahan nafas sebab bau amis, masing-masing lalu memakan sepotong daging. Cia<br />

Soen makan dengan bernafsu, selama berada di Peng hwee to ia pernah menelan macammacam<br />

untuk menahan lapar.<br />

Tak lama kemudian, ombak mereda. Sesudah mengganjal perut, semua orang memejamkan<br />

mata dan mengaso. Yang tertidur paling dulu adalah Siauw Ciauw. Tio Beng terus memegang<br />

tangan Boe Kie dan beberapa saat kemudian karena hatinya tenteram, iapun pulas dengan<br />

bibir tersungging senyuman. Sesudah melawan bahaya sehari dan semalam suntuk mereka<br />

semua capai dan lelah. Cie Jiak dan Siauw Ciauw tidak ikut bertempur tapi merekapun<br />

mengalami kekagetan yang tidak kecil. Demikianlah laut yang tenang sehingga perahu itu<br />

merupakan ayunan yang berayun-ayun dengan perlahan, keenam penumpang itu tertidur<br />

semua.<br />

Selang empat-lima jam, Cia Soen yang berusia lanjut sadar lebih dulu. Dengan kasih ia<br />

mendengar nafasnya kelima orang muda itu yang saling sahut dengan suara ombak. Nafas Cie<br />

Jiak perlahan dan panjang. Yang luar biasa adalah suara nafas Boe Kie, suara nafas itu seperti<br />

terputus seperti bersambung antara “ada” dan “tidak ada”. Bukan main rasa kagumnya Cia<br />

Soen. “Seumur hidup aku belum pernah bertemu dengan manusia yang mempunyai<br />

Lweekang begitu tinggi,” katanya di dalam hati. Nafas Siauw Ciauw pun sangat aneh,<br />

sebentar cepat sebentar pelan. Itulah tanda bahwa si nona telah berlatih sesuatu yang mirip<br />

Lweekang yang sangat luar biasa. Alis Kim mo Say ong berkerut. Ia ingat sesuatu hal.<br />

“Heran!” pikirnya. “Apa dia….”<br />

Jilid 59_____________________<br />

Sekonyong-konyong terdengar bentakan In Lee. “Thio Boe Kie! Anak bau! Mengapa kau tak<br />

mau mengikuti aku ke Leng Coa To?”<br />

Boe Kie, Tio Beng, Cie Jiak, dan Siauw Ciauw lantas saja tersadar.<br />

“Boe Kie!” bentak pula nona In. “aku hidup sebatang kara di pulau itu… Mengapa kau tidak<br />

mau menemani aku? Kau… anak bau! Aku ingin memotong dagingmu jadi dua puluh tujuh<br />

potong untuk dijadikan makanan ikan… kau.”<br />

Boe Kie meraba pipi si nona. Paras membara! Ia mengaco karena dengan keras. Boe Kie<br />

mengerti ilmu ketabiban, tapi di perahu itu ia tidak berdaya. Jalan satu-satunya hanyalah<br />

merobek ujung bajunya, mencelupnya di air laut dan menaruhnya di pipi In Lee.<br />

Si nona terus berteriak-teriak. “Thia-thia! Jangan!... Jangan bunuh ibu! Jie-nio dibunuh<br />

olehku. Kau bunuhlah aku! Ibu tak campur-campur urusanku… Ibu mati!... mati!... akulah<br />

yang mencelakainya… uh-uh-uh-uh…. “ Ia menangis keras, ia sesambat.<br />

“Coe Jie! Coe Jie!” panggil Boe Kie.<br />

To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1074

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!