20.06.2013 Views

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Sesudah berpamitan dengan Kong boen dan para pendeta, Boe Kie berkata kepada Cie Jiak.<br />

<strong>Mar</strong>i kita jalan."<br />

Si-nona kelihatan bersangsi!<br />

"Kalau begitu kita berpisahan disini saja, " kata pula Boe Kie yang lalu bertindak keluar.<br />

Cie Jiak mengawasi tindakan pemuda itu. Ia tahu, bahwa kalau sekarang mereka berpisahan,<br />

belum tentu mereka akan bisa bertemu lagi. Mendadak ia berseru, "Boe Kie Koko .... aku<br />

ikut." Ia mengudak dan meninggalkan kuil Siauwlimsie berendeng pundak dengan Boe Kie.<br />

Sesudah terpisah dari kuil beberapa puluh tombak, si nona memegang tangan Boe Kie.<br />

Pemuda itu tahu bahwa dia masih ketakutan. Tapi sebagai manusia biasa, memegang tangan<br />

seorang wanita cantik dia mengendus bau harum menimbulkan perasaan yang sukar<br />

dilukiskan. Mereka berjalan tanpa mengeluarkan sepatah kata.<br />

Sesudah melalui beberapa li, si nona menghela napas. "Boe Kie Koko," katanya, "hari itu<br />

waktu kita pertama bertemu di sungai Han soei, jiwaku ditolong oleh Thio Cinjin. Kalau tahu<br />

aku harus mengalami begini banyak penderitaan, alangkah baiknya jika aku mati dihari itu."<br />

Boe Kie tidak menyahut. Tiba-tiba ia ingat pula doa Beng kauw. Tanpa merasa ia berkata<br />

dengan suara perlahan. "Hidup apa senangnya mati apa susahnya? Kasihan manusia dalam<br />

dunia, banyak yang menderita. Kasihan manusia dalam dunia, banyak yang menderita!"<br />

Tangan Cie Jiak bergemetaran. "Kutahu, dalam mengirim aku ke Go bie, Thio Cin jin<br />

bermaksud baik," katanya. "Tapi andaikata ia menerima aku sebagai murid Boe tong, keadaan<br />

sekarang tentu lain sekali Hai--! Insoe (guruku yang besar budinya) pun sangat baik<br />

terhadapku. Tapi . . . ia paksa aku bersumpah berat, ia paksa aku membenci Beng kauw,<br />

membenci kau tapi didalam hatiku . . . "<br />

Boe Kie merasa sangat terharu. Ia mengerti bahwa segala penderitaan si nona dan segala<br />

perbuatannya yang berdosa sebagian besar karena gara-gara Biat coat Soethay. Mengingat itu,<br />

rasa kasihannya bertambah pula."<br />

Angin malam yang bersilir dengan perlahan mengirim harumnya bunga ke hidung dua orang<br />

muda itu. Waktu itu adalah permulaan musim panas. Langit bertabur bintang dan diantara<br />

keindahan dan keharuman sang malam, Boe Kie mendengar pengakuan rasa cinta dari<br />

seorang wanita cantik. Jantungnya mengetuk lebih keras.<br />

"Boe Kie Koko," kata pula Cie Jiak. "Pada waktu kita mau menjalankan upacara pernikahan<br />

di Hauwcoe, begitu lihat Tio Kauwcoe kau lantas kabur. Apa sungguh kau sangat mencintai<br />

dia?"<br />

"Inilah justru keterangan yang sudah lama ku mau berikan kepadamu," jawabnya. Sesaat itu<br />

mereka sudah tiba didekat tenda-tenda Bengkauw, Boe Kie menuntun Cie Jiak kesebuah batu<br />

besar dipinggir jalan dan mereka lalu berduduk dengan berendeng pundak.<br />

Boe Kie lantas saja menceritakan sebab musabab dari kaburnya itu. Ia kabur bukan sema<strong>tamat</strong>a<br />

sebab kecantikan Tio beng, tapi sebab lihat rambut Cia Soen yang dipegang nona Tio.<br />

Sesudah Boe Kie selesai menutur, Cie Jiak tidak mengatakan apa-apa juga.<br />

“Cie Jiak apa kau marah terhadapku?” tanya Boe Kie.<br />

To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1441

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!