20.06.2013 Views

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Boe Kie lantas memeluknya erat-erat dan berkata dengan suara perlahan. “Kalau tidak<br />

sungguhan, dalam dua atau tiga tahun, cara bagaimana kita bisa mendapatkan anak?”<br />

“Fui!” bentak si nona. “Kau tentu mencuri dengar pembicaraanku!” Sehabis berkata begitu, ia<br />

menundukkan kepala dengan sikap kemalu-maluan.<br />

Dalam keadaan itu sebagai seorang ksatria Boe Kie dapat menguasai dirinya. Ingat, bahwa<br />

dengan Cioe Cie Jiak, ia sudah mengikat janji itu mesti dipenuhi. Nanti sesudah menikah<br />

dengan nona Cioe, pikirnya, barulah ia boleh mengurus persoalan nona Tio. Sesudah<br />

beromong-omong lagi beberapa lama, ia segera mempersilahkan Tio Beng tidur, sedang ia<br />

sendiri bersila di kursi dan mengerahkan Kioe yang Cin khie. Tak lama kemudian ia tertidur.<br />

Tio Beng tidak bisa lantas pulas. Lama ia bergulak gulik di ranjang. Kira-kira tengah malam,<br />

dalam keadaan setengah tidur, tiba-tiba kupingnya dengar suara tindakan kaki yang datang<br />

dari tempat jauh. Tindakan itu cepat luar biasa dan dalam sekejap sudah tiba di pintu luar. Ia<br />

melompat dan menyentuh tangan Boe Kie. Pemuda itu ternyata sudah tersadar dan mencekal<br />

tangannya.<br />

Dalam saat itu terdengar suara seorang yang sangat nyaring. “Suami isteri Touw – selamat<br />

bertemu! Malam malam kami datang berkunjung. Apakah kunjungan ini dianggap tak<br />

pantas?”<br />

“Apa Ceng hay Sam kiam?” tanya si nenek. “Dari Coan see (Soecoen barat) kami<br />

menyembunyikan diri di tempat ini. Dengan berbuat begitu, kami sudah mengunjuk rasa takut<br />

terhadap Ceng hay Giok ciu koan. Mengapa kalian mendesak sampai begitu keras?”<br />

Tamu itu tertawa terbahak-bahak. “Kalau benar-benar kalian takut, berlututlah tiga kali di<br />

hadapan kami dan kami akan mencoret semua hutang lama,” katanya.<br />

Sekonyong-konyong terdengar suara dibukakannya pintu. “Masuklah!” kata si nenek.<br />

Boe Kie dan Tio Beng mengintip dari celah-celah papan dan dengan bantuan sinar rembulan<br />

mereka lihat tiga toojin (imam) yang berdiri di ambang pintu.<br />

Toojin yang berdiri di tengah-tengah seorang katai gemuk dengan berewok pendek lantas saja<br />

bertanya. “Apa kalian mau meminta ampun dengan berlutut atau membereskan persoalan ini<br />

dengan senjata?”<br />

Sebelum si nenek menjawab, suaminya keluar dengan tulang tulang dalam tubuhnya<br />

memperdengarkan suara peratak perotok, suatu tanda bahwa dia memiliki lweekang yang luar<br />

biasa. Ia lantas berdiri di samping isterinya seraya mengawasi ketiga imam itu dengan mata<br />

tajam.<br />

“Touw loosianseng,” kata si berewok, “mengapa kau tidak mengeluarkan sepatah kata? Apa<br />

kau merasa derajatmu terlalu tinggi untuk beromong-omong dengan Ceng hay Sam kiam?”<br />

“Suamiku tuli,” kata si nenek.<br />

To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1283

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!