20.06.2013 Views

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Kata-kata itu adalah petikan dari kitab Lam hoa keng gubahan Cong coe -Chuang tse-.<br />

Sebagai mana diketahui Thio Sam Hong menganut agama Too kauw tapi ketujuh muridnya<br />

tidak turut memeluk agama tersebut. Meskipun begitu, mereka terus mempelajari Lam Hoa<br />

keng semasak-masak nya.<br />

Waktu berada di pulau Peng bwee to, karena tak ada buku dan perabot tulis, Thio Coei San<br />

mengajar ilmu surat kepada puteranya dengan menulis huruf diatas tanah. Antara lain, ia telah<br />

menyuruh anaknya menghafal kitab Lam-hoa-keng. Kata-kata yang dikutip Boe Kie<br />

mengandung makna yang seperti berikut: Hidup belum tentu senang dan mati belum tentu<br />

menderita, sehingga pada hakekatnya hidup atau mati tidak banyak perbedaannya. Seseorang<br />

yang hidup di dunia seperti sedang mimpi dan kalau ia mati, ia seperti tersadar dari mimpinya.<br />

Mungkin sekali, sesudah mati, rohnya menyesal mengapa dahulu dia hidup di dalam dunia<br />

dan mengapa dia tidak mati terlebih siang. Demikianlah kira-kira arti perkataan itu.<br />

Sebagai seorang bocah, Boe Kie sebenarnya belum mengerti soal mati atau hidup. Tapi<br />

karena selama kurang lebih empat tahun setiap hari ia berada antara mati dan hidup, maka<br />

sedikit banyak ia dapat menyelami juga arti perkataan Cong coe. Tanpa merasa, ia mengharap<br />

supaya sesudah mati, ia akan berada ditempat yang bahagia, supaya ia bisa berkumpul lagi<br />

dengan roh kedua orang tuanya, sehingga kematiannya banyak lebih menyenangkan dari pada<br />

hidup sebatangkara didalam dunia yang lebar ini.<br />

Bagi Kim Hoa Popn, perkata itu telah mengingatkannya kepada sang suami yang sudah<br />

almarhum. Puluhan tahun, dengan penuh kecintaan mereka bersuami isteri. Tiba-tiba pada<br />

suatu hari, sang suami yang tercinta telah berpulang kealam baka, seperti seorang pelancong<br />

yang pulang ke negeri sendiri. Mengingat begitu, didalam hatinya segera muncul satu<br />

pertanyaan: "Apakah kebinasaan suami itu bukan kejadian yang tidak terlalu jelek?"<br />

Dengan perasaan heran si nona cilik yang berdiri disamping Kim Hoa Popo mengawasi muka<br />

si nenek dan kemudian melirik Boe Kie. Ia tidak mengerti perkataan Boe Kie dan juga tidak<br />

mengerti mengapa neneknya bengong terlongong longong.<br />

Beberapa saat kemudian, Kim Hoa Popo menghela napas dan berkata: "Soal mati atau hidup<br />

tak bisa diketahui manusia. Biarpun kematian belum tentu merupakan suatu kejadian yang<br />

menakuti, tapi pada umumnya manusia takut mati. Benar! Manusia tidak bisa meminta secara<br />

paksa. Pada akhirnya, satu hari semua manusia akan mati. Akan tetapi, jika bisa hidup satu<br />

hari lebih lama, orang lebih suka hidup satu hari lebih lama!"<br />

Melihat sikap dan perkataan si nenek yang lemah-lembut, hati si bocah jadi tenang tenteram.<br />

Sesudah menyaksikan lukanya kelima belas orang dan rasa takutnya Ouw Ceng Goa, Boe Kie<br />

menganggap nenek itu sebagai memedi kejam. Tapi sekarang, melihat paras Kim hoa Popo<br />

yang penuh kecintaan dan sikapnya yang ramah tamah, ia merasa, bahwa si nenek<br />

menyayangnya dengan setulus hati, sehingga dengan demikian rasa takutnya banyak<br />

berkurang.<br />

"Nak," kata pula nenek itu, "Siapakah ayahmu dan dimana ia sekarang?"<br />

Tanpa tedeng-tedeng, secara ringkas Boe Kie segera memberi jawaban dan menuturkan sebab<br />

musabab sehingga dia berada di Ouw tiap kok.<br />

To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 480

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!