20.06.2013 Views

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

kata So So. "Anak kitapun tak akan mau mengerti, Ka1au bukan Gie hoe (ayah angkat), siapa<br />

lagi yang bisa menyayangnya?"<br />

Cia Soen menghela napas dan paras mukanya kelihatan berduka. "Aku sudah menyayangnya<br />

sepuluh tahun. cukuplah," katanya. "Langit selama nya mengacau penghidupanku. Jika anak<br />

kita berdampingan terlalu lama denganku, Langit mungkin akan menggusari dia dan dia bisa<br />

celaka."<br />

Coei San dan So So bingung. Tapi sesaat kemudian, mereka manganggap, bahwa sang kakak<br />

bicara sembarangan saja dan hati mereka jadi lebih lega.<br />

Mulai hari itu, Coei San mulai memberi pelajaran Lweekang kepada puteranya. Ia<br />

menganggap bahwa bagi anaknya yang masih begitu kecil, pelajaran Lweekang untuk<br />

menguatkan diri sudahlah cukup.<br />

Disamping itu, dengan berdiam dipulau tersebut, anak itu sebenarnya tidak perlu memiliki<br />

ilmu silat, karena tidak ada kemungkinan untuk berkelahi. Mengenai kesempatan pulang ke<br />

Tionggoan tidak pernah disebut-sebut lagi oleh Cia Soen, sehingga Coei San dan So So<br />

menganggap, bahwa kakak mereka sudah berkata begitu secara sembarangan saja.<br />

Waktu Boe Kie berusia delapan tahun, benar saja Cia Soen mengajukan untuk memberi<br />

pelajaran ilmu silat. Tapi ia mengadakan peraturan, bahwa waktu ia menurunkan pelajaran,<br />

baik Coei San maupun So So tidak boleh turut menyaksikan. Peraturan itu yang sudah lazim<br />

dalam Rimba Persilatan, tidak pernah dibantah oleh mereka. Mereka tahu, bahwa sang kakak<br />

akan memberi pelajaran yang sebaik baiknya kepada Boe Kie.<br />

Sang tempo lewat dengan cepat dan tahu-tahu Boe Kie sudah menerima pelajaran setahun<br />

lebih dari ayah pungutnya. Semenjak terlahirnya anak itu, karena hatinya bahagia dan<br />

mempunyai tugas tertentu, Cia Soen tak pernah memperhatikan lagi To liong to. Pada suatu<br />

malam, karena tak dapat pulas. Coei San keluar dari guha dan jalan-jalan diseputar situ. Tibatiba<br />

ia lihat Cia Soen sedang bersila diatas satu batu besar sambil mencekal golok mustika<br />

dengan kepala menunduk.<br />

Baru saja ia mau menyingkir diri, sang kakak yang sudah mendengar suara tindakannya sudah<br />

keburu berseru: "Ngotee, kurasa kata-kata Boe lim coe-coan, poto To liong hanya kata-kata<br />

kosong belaka."<br />

Coei San menghampiri seraya berkata: "Di dalam Rimba Persilatan memang banyak sekali<br />

tersiar omongan-omongan yang tidak boleh dipercaya. Toako adalah seorang yang<br />

berpengetahuan tinggi, sehingga aku sesungguhnya tidak mengerti, mengapa kau percaya<br />

omongan itu?"<br />

"Ngotee, aku bukan percaya secara serampangan saja," jawabnya. "Keterangan itu dapat dari<br />

Kong kian Taysoe, seorang pendeta dari Siauw limpay."<br />

"Ah!" Coei San mendadak mengeluarkan seruan tertahan. "Kong kian Taysoe! Kudengar ia<br />

adalah Soeheng (kakak seperguruan) dari Kong boen Taysoe, Ciangboejin Siauw limpay. Ia<br />

sudah meninggal dunia lama sekali."<br />

"Benar," kata Cia Soen. "Akulah yang membinasakannya!"<br />

To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 236

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!