20.06.2013 Views

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

pohon. Lama ia bersembunyi di situ sambil mengucurkan air mata. “Ah! Sungguh malang<br />

nasib Boe Tong Pay!” pikirnya. “siapakah yang telah membinasakan Cit Soesiok?”<br />

Berselang kira-kira setengah jam, ia mendengar suara kaki kuda yang mendatangi utara dari<br />

tenggara. Tak lama kemudian, ia melihat dua ekor kuda dengan empat penunggangnya: Song<br />

Wan Kiauw dan Jie Lian Cioe menunggang yang satu, In Lie Heng dan Thio Siong Kee<br />

menunggang yang lain.<br />

“Sesudah kena pukulanku, perempuan siluman itu jatuh ke jurang,” demikian terdengar suara<br />

Jie Lian Cioe. “Kurasa dia tak akan bisa hidup lagi.”<br />

“Hari ini barulah kita bisa mencaci hinaan di Ban Hoat Sie,” kata Thio Siong Kee. “Tapi perlu<br />

apa di bersembunyi di gua itu? Aku benar-benar merasa heran.”<br />

“Tapi Sieko, apakah kau tidak bisa menebak-nebak?” tanya In Lie Heng.<br />

“Tak bisa,” jawabnya. “Bagi kita, binasanya perempuan siluman itu tidak begitu penting. Kita<br />

baru bisa bergirang kalau kita bisa menemukan Cit Tee.” Makin lama mereka makin jauh dan<br />

akhirnya Boe Kie tidak bisa mendengar lagi pembicaraan mereka.<br />

Sesudah menunggu beberapa lama lagi, Boe Kie turun dari pohon. Dengan mengikuti tapaktapak<br />

kaki di atas salju, ia lantas berlari-lari ke arah timur. Ia sangat berkuatir akan<br />

keselamatan Tio Beng dan berkata dalam hatinya. “Biarpun jahat, kali ini dia menolong<br />

jiwaku. Kalau karena aku dia mengantarkan jiwa, aku sungguh…. “ memikir begitu, ia lari<br />

makin keras dan sesudah melalui kira-kira lima li, ia bertemu dengan sebuah tebing. Tapaktapak<br />

di sekitarnya kelihatan kalang kabut, sedangkan di sisi tebing terdapat tanda-tanda dari<br />

gugurnya tanah dan batu. Boe Kie mengerti, bahwa karena terdesak, Tio Beng sudah terjun ke<br />

bawah bersama-sama kudanya.<br />

“Tio Kouw Nio! Tio Kouw Nio!” teriaknya. Ia tak dapat jawaban. Ia melongok ke jurang.<br />

Ditengah malam ia tak bisa lihat dasar jurang itu yang dindingnya sangat terjal dan tidak<br />

punya tempat untuk menaruh kaki.<br />

Tapi Boe Kie sudah nekat. Seraya menarik napas dalam-dalam ia turunkan kedua kakinya dan<br />

lalu merosot ke bawah sambil bersandar di dinding jurang. Perbuatan itu tentu sangat<br />

berbahaya, tapi ia tak memikir panjang-panjang lagi. Seraya merosot, ia mengerahkan<br />

lweekang dan berusaha keras untuk menancapkan sepuluh tangannya di es yang keras. Ia<br />

berhasil dan sesudah berhenti sejenak ia merosot lagi. Kejadian ini terulang lima enam kali.<br />

Akhirnya ia tiba di dasar jurang. Mendadak ia melompat karena kakinya menyentuh sesuatu<br />

yang lembek. Dengan meraba-raba ia mendapat tahu bahwa kakinya telah menginjak paha<br />

kuda dan Tio Beng sendiri masih mendekam di punggung kuda dan memeluk leher binatang<br />

itu. Cepat-cepat ia menyelidiki pernapasan si nona. Ia merasa agak lega sebab walaupun<br />

pingsan, gadis itu masih bernapas. Untung sungguh si nona terus memeluk leher kuda,<br />

sehingga di waktu jatuh, yang terpukul hebat adalah binatang yang mati seketika itu juga. Boe<br />

Kie lalu memegang nadi Tio Beng. Ia girang sebab ia mendapat kenyataan, bahwa meskipun<br />

terluka berat jiwa si nona tidak akan terancam. Ia segera mendukungnya, menempelkan kedua<br />

telapak tangannya dengan telapak tangan Tio Beng dan kemudian mengerahkan te<strong>naga</strong> dalam<br />

untuk mengobati luka itu.<br />

To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1172

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!