20.06.2013 Views

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Sesudah adik seperguruannya dihukum, biarpun hatinya senang, Bin Koen merasa agak takut.<br />

Mendengar perintah itu, ia segera berjalan pergi untuk mencari Poet Hwie.<br />

Sambil memeluk si none, Boe Kie menyembunyikan diri diantara rumput alang-alang yang<br />

tinggi. Dengan berbisik ia minta supaya Poet Hwi jangan bersuara dan menyerahkan segala<br />

apa kepada putusan Tuhan. Untung juga, sesudah mencari cari beberapa lama, Bin Koen tidak<br />

ingat kepada rumput tinggi yang bisa digunakan sebagai tempat bersembunyi. Baru saja ia<br />

mau menyelidiki terlebih teliti, gurunya sudah mencaci: "Manusia goblok! Anak kecil saja<br />

kau tak mampu cari."<br />

Murid Biat coat yang satunya lagi, Pwee Kim Gie namanya, mempunyai hubungan baik<br />

dengan Siauw Hoe. Melihat kekejaman sang guru ia merasa sangat tak tega. Maka itu, ia<br />

lantas saja berkata: "Soehoe, tadi kulihat anak itu lari keluar selat." Ia tahu, bahwa jika<br />

diberitahukan begitu, sang guru, yang beradat sabaran, tentu tidak mau berabe untuk mencari<br />

terlebih jauh. Ia merasa, bahwa sebagai anak yatim piatu yang baru berusia lima enam tahun,<br />

Poet Hwie belum tentu bisa hidup terus. Tapi biar bagaimana jua, mati lapar atau mati<br />

diterkam binatang buas ada lebih baik daripada mati ditikam Teng Bin Koen.<br />

"Mangapa kau tidak beritahukan sedari tadi?" tanya Biat coat dengan mendongkol. Dengan<br />

menggunakan ilmu ringan badan, ia segera berlari-lari keluar selat, dengan diikuti oleh kedua<br />

muridnya. Poet Hwie yang tak tahu, bahwa ia baru saja terlolos dari lubang jarum, mengawasi<br />

Boe Kie dengan mata penuh pertanyaan.<br />

Sesudah tindakan ketiga orang itu tidak terdengar lagi, sambil menuntun Poet Hwie, Boe Kie<br />

berlari-lari mendaki tanjakan. "Boe Kie Koko, orang jahat sudah pergi semua bukan?"<br />

tanyanya sambil tertawa. "Kau mau mengajak aku bermain-main diatas gunung, bukan?"<br />

Boe Kie tidak menjawab. Melihat Poet Hwie sudah lelah, tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia<br />

mendukungnya dan terus lari secepat mungkin kearah Kie Siauw Hoe yang menggeletak<br />

diatas tanah. Sesudah dekat, barulah Poet Hwie melihat ibunya. Ia meronta turun dari<br />

dukungan Boe Kie dan kemudian menubruk ibunya. "Ibu! Ibu!..,." teriaknya.<br />

Boe Kie buru-buru berlutut dan memeriksa ke adaan sang bibi. Napas Siauw Hoe tinggal<br />

sekali kali dan batok kepalanya remuk, sehingga biarpun ditolong dewa, ia tak akan bisa<br />

hidup terus.<br />

Perlahan-lahan Siauw Hoe membuka kedua matanya. Melihat puterinya dan Boe Kie,<br />

matanya berlinang air dan bibirnya bergerak. Ia mau bicara, tapi tak sepatah perkataan bisa<br />

keluar dari mulut nya. Boe Kie segera mengeluarkan jarum emas dan menusuk jalan darah<br />

Sinteng, Gin tong dan Sin wie. Semangat Siauw Hoe terbangun dan ia berkata dengan suara<br />

lemah: "Aku memohon.... memohon....supaya kau mengantarkan Poet Hwie kepada<br />

ayahnya...". Lengan kirinya meraba dada, seperti mau mengeluarkan sesuatu, tapi mendadak<br />

ia berkelejat dan menghembuskan napasnya yang penghabisan.<br />

Sambil menangis keras Poet Hwie memeluk jenazah ibunya. "Ibu!...ibu!.... Mengapa kau?....<br />

sakit?...." ia sesambat.<br />

To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 491

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!