20.06.2013 Views

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Kedua serdadu itu lantas saja mengubar.<br />

“Aduh!” teriak si nona yang lantas roboh ditanah.<br />

Si berewok menubruk. Begitu di tubruk, dengan sikutnya Tio Beng menggentus dada si<br />

penyerang, yang tanpa bersuara lagi, lantas terguling. Gentasan itu kena tepat pada jalan<br />

darah. Kawannya gusar dan lantas menyerang, tapi iapun mendapat nasib seperti si berewok.<br />

Sesudah merobohkan kedua serdadu itu, dengan napas tersengal sengal Tio Beng turunkan<br />

Boe Kie dari punggung kuda. “Binatang! Kamu mau mati atau hidup?” bentaknya.<br />

Kedua serdadu itu yang tidak mengharap hidup lagi, melihat jalan hidup. “Ampun nona!” kata<br />

si berewok. “Aku tidak ikut menyerang Waerl Puche Ciangkoen.”<br />

“Baiklah,” kata si nona. “Kamu menurut perintah, aku akan mengampuni jiwa anjingmu!”<br />

“Turut! Turut!” jawab mereka, tergesa gesa.<br />

Sambil menuding kedua kudanya sendiri si nona berkata, “Dengan menunggang kuda2 itu,<br />

kamu harus pergi ke jurusan timur. Dalam sehari dan semalam, paling sedikit kamu harus<br />

melalui tiga ratus li. Lebih cepat lebih baik.”<br />

Kedua serdadu itu saling mengawasi. Mimpi pun ereka tak pernah mimpi, bahwa mereka akna<br />

mendapat perintah itu. Beberapa saat kemudia barulah si berewok berkata, “Kauw nio,<br />

siauwjin tidak… tidak berani…”<br />

“Jangan rewel!” memutus Tio Beng. “Lekas nunggang kuda2 itu! Kalau ditanya orang,<br />

katakan saja, bahwa kamu membelinya di pasar. Kamu tidak boleh beritahukan hal yg<br />

sebenarnya. Mengerti?”<br />

Kedua serdadu itu masih bersangsi. Tapi karena didesak Tio Beng berulang2, sambil menahan<br />

sakit dan dengan terpincang2, mereka lalu menghampiri kedua tunggangan itu. Tangan<br />

mereka masih belum bisa bergerak. Untung juga setiap orang Mongol pada jaman itu mahir<br />

dalam ilmu menunggang kuda, sehingga, biarpun tidak menggunakan tangan, ia bisa juga naik<br />

kepunggung binatang itu dan kemudian menjalankannya. Mereka menduga Tio Beng seorang<br />

otak miring dan merasa kuatir, kalau si nona berubah pikiran secara mendadak. Maka itu,<br />

sesudah berjalan belasan tombak, mereka menjepit perut kuda erat2, sehingga kedua binatang<br />

itu lantas saja kabur.<br />

Boe Kie menghela napas, “Beng moay, kau sungguh pintah,” ia memuji. “Jika kuda2 itu<br />

dilihat oleh orang2nya kakakmu, mereka tentu menaksir, bahwa kita lari kejurusan timur.<br />

Beng moay, kemana kini kita menuju?”<br />

“Ke Barat Daya,” jawabnya.<br />

Mereka lantas saja menunggung kuda yg ditinggalkan oleh serdadu Mongol dan dengan<br />

perlahan menuju ke barat daya.<br />

Jalan kecil yg diambil mereka berliku2 dan penuh dengan pohon2 berduri. Sesudah berjalan<br />

kurang lebih satu jam dan melalulu kira2 duapuluh lie, matahari mulai menyelam ke barat.<br />

To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1266

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!