20.06.2013 Views

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Perahu itu ternyata terlubang besar dan selang kira-kira seminuman teh, sudah tenggelam<br />

kedalam laut.<br />

Cia Soen segera menggelar selembar kulit biruang diatas es dan mereka bertiga lantas saja<br />

duduk dengan berendeng pundak. Jika berada di atas bumi, besar gunung es itu kira-kira<br />

bersamaan dengan sebuah bukit kecil, dengan garis tengah kurang lebih delapan belas tombak<br />

dan tingginya kira-kira lima tombak.<br />

Cia Soen mendongak sambil mengeluarkan teriak nyaring, seolah-olah sedang menantang<br />

musuh, "Berdiam diperahu yang sempit, dadaku menyesak," katanya. "Tempat ini lebih cocok<br />

untuk aku melemaskan urat," berkata begitu, ia berjalan mundar mandir dan sungguh heran,<br />

kakinya tidak terpeleset meskipun permukaan es licin luar biasa.<br />

Coei San mengerti, dia sedang menantang Langit yang dianggapnya sangat tidak adil<br />

terhadapnya. Dalam menghadapi kebinasaan, rasa penasarannya semakin menjadi.<br />

Dengan menuruti tiupan angin dan arus air, gunung es itu terus bergerak kejurusan utara.<br />

Pada suatu hari, selagi mereka bertiga duduk terpekur, tiba-tiba Cia Soen tertawa terbahak<br />

bahak dan berkata dengan suara mengejek: "Langit telah mengirim sebuah perahu untuk<br />

menyambut kita guna bertemu dengan Pak kek Siang ong (Dewa Kutub Utara)."<br />

Mendengar itu So So hanya bersenyum. Ia tidak menghiraukan andaikata langit bakal rubuh<br />

asal saja kecintaannya berada didampingnya. Tapi Coei San mengerutkan alis dan pada paras<br />

mukanya terlukis sinar kedukaan.<br />

Selang tujuh delapan hari, sinar es yang disoroti matahari adalah demikian hebat<br />

berkilauannya sehingga mata mereka dirasakan sakit sekali. Oleh karena begitu, diwaktu<br />

siang mereka menyelimuti kepala dengan kulit biruang sambil merebahkan diri diatas es dan<br />

diwaktu malam, barulah mereka bangun untuk menangkap atau memburu biruang.<br />

Sungguh heran, semakin keutara siang hari jadi<br />

semakin panjang, sehingga belakangan, jangka waktu dimalam hari hanya beberapa jam saja.<br />

Makin lama Coei San dan So So jadi makin lelah dan paras muka mereka makin pucat. Cia<br />

Soen sendiri kelihatan seperti seorang lupa ingatan dan pada kedua matanya terlihat sinar luar<br />

biasa. Kadang-kadang, kalau datang kalapnya, ia menuding-nuding tangan dan mencaci-caci,<br />

seolah-olah manusia edan.<br />

Pada suatu malam, karena tak dapat pulas di waktu siang, Coei San tidur sambil menyender di<br />

es, tiba-tiba dalam pulasnya, ia mendengar jeritan So So: "Lepas Lepas!" Ia tersadar dan<br />

melompat bangun dan melihat Cia Soen sedang memeluk kecintaannya dengan mulut<br />

mengeluarkan suara "ho ho ho," seolah olah bunyi binatang buas.<br />

Sesudah menyaksikan lagak Cia Soen yang luas biasa selama beberapa hari Coei San merasa<br />

sangat berkuatir. Hanya ia tak nyana bahwa orang itu dapat berbuat begitu rupa terhadap So<br />

So. "Lepas !" bentaknya dengan gusar, sambil melompat maju.<br />

Cia Soan tertawa terbahak-bahak. "Dalam menghadapi kebinasaan, aku tak mergenal segala<br />

peraturan bau," katanya. "Waktu masih berada diatas bumi, aku sudah tidak mengenal Lie gie<br />

liam tie. Apa lagi sekarang?"<br />

To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 205

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!