20.06.2013 Views

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Hati Siauw Hoe seperti disayat pisau, "Soehoe!" teriaknya dengan suara parau, sedang air<br />

matanya mulai mengucur.<br />

Biat coat Soethay biasanya dikenal sebagai seorang yang selalu mengeloni muridnya,<br />

meskipun murid itu berbuat kesalahan. Sekarang, dengan mengeluarkan perkataan itu terangterangan<br />

ia mengunjuk, bahwa ia sudah tidak menganggap Siauw Hoe sebagai muridnya lagi.<br />

"Dengan Go bie pay aku tidak mempunyai permusuhan." kata Kim hoa Popo. "Sesudah<br />

memukul sekali, cukuplah. A-lee, mari kita pergi !"<br />

Sehabis betkata begitu, perlahan-lahan ia memutar badan.<br />

Melihat cara-cara si nenek yang dianggapnya kurang ajar, Teng Bin Koen yang belum<br />

mengenal kelihayan Kim hoa Popo, lantas saja naik darah.<br />

Dengan sekali melompat, ia sudah menghadang dihadapan nenek itu, "Tak tahu adat!"<br />

bentaknya. "Apa kau mau pergi dengan begitu saja, tanpa mengeluarkan sepatah perkataan<br />

sopan?" Seraya barkata begitu, ia mencekal gagang pedang dan sikapnya galak sekali.<br />

Tangan si nenek bergerak dan dengan dua jeriji, dia memijit sarung pedang Teng Bin Koen.<br />

"Kau mengancam orang dengan besi rongsokkan!" Katanya sambil tertawa.<br />

Teng Bin Kaoen jadi lebih gusar dan lalu menarik pedangnya, tapi heran sungguh, pedang itu<br />

tak dapat dihunus.<br />

A lee tertawa geli. "Besi rosokan sudah berkarat," katanya.<br />

Teng Bin koen coba mencabut lagi dangan menambah te<strong>naga</strong>, tapi pedang itu tetap melekat<br />

pada sarungnya. Ia tak tahu, bahwa karena dipijit, sarung pedang pecah dan melesak kedatam,<br />

sehingga badan pedang tergencet keras.<br />

Paras muka Teng Bin koen lantas saja berubah merah. Ia merasa jengah dan tak tahu harus<br />

berbuat apa. Biat coat Soethay maju setindak dengan tiga jari tangan, ia menjepit gagang<br />

pedang dan sekali menyentak, sarung itu pecah dan pedangnya terhunus keluar. "Pedang ini<br />

memang bukan senjata mustika, tapi juga bukan besi rongsokan," katanya dengan suara<br />

mendongkol. "Kim hoa Popo, mengapa kau tidak berdiam di pulau Leng coa to dan<br />

menyateroni wilayah Tiong goan?"<br />

Melihat kepandaian nie kouw, si nenek terkejut. "Pendeta itu besar namanya dan ternyata ia<br />

memang memiliki kepandaian tinggi," katanya didalam hati. "Baiklah aku coba menjajal<br />

ilmunya."<br />

Ia lantas saja berkata sambil tertawa: "Suami ku sudah meninggal dunia dan di pulau kami,<br />

aku merasa sangat kesepian. Maka itu, aku pergi pesiar, kalau-kalau ada seorang hweeshio<br />

atau toesoe yang cocok untuk dijadikan kawan" dengan berkata begitu menyebut hweeshio<br />

dan toesoe, ia mengejek Biat coat. Ia seolah-olah mau mengatakan, bahwa sebagai seorang<br />

pendeta perempuan, Biat coat Soethay tidak pantas berkelana diluaran.<br />

Paras muka nie kouw itu, yang beradat keras dan tidak pernah guyon-guyog, lantas saja<br />

berubah. Kedua alisnya makin turun kebawah. Sambil mengibas pedang, ia membentak :<br />

"Keluarkan senjatamu!"<br />

To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 484

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!