20.06.2013 Views

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Boe Kie mengerti bahwa kedua orang itu mau menyelidiki keadaan Siauw lim sie. Ia girang<br />

dan lantas menyahut, “Aku akan menurut semua perintah Popo harapanku yang satu satunya<br />

Popo suka menerima kami menumpang di sini. Kami sudah lelah berlarian kesana sini.”<br />

Lohor itu Boe Kie mengikuti suami isteri Touw, dengan masing-masing memikul satu pikul<br />

kayu bakar. Boe Kie memakai tudung besar, kasur rumput dan di pinggangnya terselip kapak<br />

pendek. Selagi mereka berangkat, Tio Beng berdiri di ambang pintu sambil tersenyum.<br />

Mereka berjalan perlahan lahan dan berlagak tersengal-sengal. Setibanya di pendopo di luar<br />

kuil Siauw lim sie, mereka berhenti mengaso. Di pendopo itu terdapat dua orang yang<br />

mengawasi mereka dengan sikap acuh tak acuh. Ek Sam Nio membuka bungkusan kepala<br />

yang terbuat dari kain kasar dan menggunakan untuk menyusut keringat, sesudah itu ia<br />

menyusut keringat Boe Kie. “Nak, apa kau sudah capai?” tanyanya.<br />

Waktu keringatnya disusuti, Boe Kie merasa agak jengah. Tapi begitu mendengar suara si<br />

nenek, jantungnya memukul keras. Itulah suara yang bernada rasa cinta dan yang keluar dari<br />

hati setulusnya. Ia melirik dan melihat air mata yang berlinang-linang di kedua mata si nenek.<br />

Ia tahu, bahwa orang tua itu ingat anaknya sendiri, yang telah dibunuh Cia Soen. Sesudah<br />

menanya nenak itu mengawasi Boe Kie dengan sorot mata meminta jawabah. Boe Kie tak<br />

tega dan segera menjawab dengan suara lemah lembut. “Ibu, aku tidak capai. Kau sendirilah<br />

yang sudah capai.”<br />

Begitu mendengar perkataan “Ibu” air mata si nenek lantas mengucur. Buru buru ia menyusut<br />

mukanya. Touw Pek Tong lantas saja bangun dan memikul pikulannya. Sambil mengulapkan<br />

tangan kirinya, ia lantas bertindak keluar dari pendopo itu. Ia tahu, bahwa isterinya bersedih<br />

dan kalau mereka berdiam lama lama, kedua pendeta itu bisa bercuriga. Sebelum berangkat,<br />

Boe Kie menghampiri pikulan si nenek dan menaruhnya di pikulannya sendiri. “Ibu, mari!”<br />

katanya.<br />

Melihat kecintaan Boe Kie, Ek Sam Nio jadi makin sedih. “Jika puteraku masih hidup,<br />

kemungkinan dia lebih tua daripada pemuda ini,” pikirnya. “Mungkin sekarang aku sudah<br />

mengempo cucu. Sambil mikir begitu, ia segera memikul pikulannya. Karena berduka,<br />

tindakannya agak limbung dan Boe Kie yang melihat itu lantas saja kembali dan menuntun<br />

tangan si nenek.<br />

”Anak itu sangat berbakti,” kata salah seorang pendeta.<br />

“Popo apa kamu mau bawa kayu itu ke Siauw lim sie?” seru pendeta yang lain. “Sedari<br />

beberapa hari berselang, Hong thio telah mengeluarkan peraturan bahwa orang luar tidak<br />

boleh datang ke kuil. Sebaiknya kau jangan pergi!”<br />

Ek Sam Nio terkejut. Kalau mereka tidak bisa masuk dengan menyamar, penjagaan Siauw lim<br />

sie yang sangat kuat sukar ditembus. Sementara itu, melihat isterinya dan Boe Kie berhenti,<br />

Touw Pek Tong yang sudah berjalan lebih dahulu juga turut berhenti.<br />

“Mereka keluarga baik,” kata pendeta yang pertama. “Ibu mencintai anak, anak berbakti<br />

kepada ibunya. Kita patut menolong. Soetee, ajaklah mereka ke dapur. Kalau diketahui<br />

pengawas, katakan saja penduduk dusun sini yang biasa menjual kayu bakar.”<br />

To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1289

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!