20.06.2013 Views

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

“Besok adalah hari pesiarnya Hong shia (kaisar), kejadian ini hanya terjadi satu tahun sekali.<br />

Tujuan Hong shia adalah bersembahyang di kelenteng Keng sioe sie. Malam ini kalian harus<br />

tidur siang siang dan besok bangun pagi pagi.”<br />

“Pagi pagi sekali kau harus pergi di mulut pintu istana Giok tek tian untuk mendapat tempat<br />

yang baik. Kalau untung bagus, kau bisa lihat wajah Hong siang, Hong houw (permaisuri),<br />

Koei hoi (selir kaisar), putera mahkota dan puteri kaisar. Coba kalian pikir, kalau sebagai<br />

rakyat jelata kita tidak berada di kota raja mana bisa kita melihat wajah Hong siang dengan<br />

mata sendiri?”<br />

Bukan main mendongkolnya Han Lim Jie. Tanpa bisa menahan sabar lagi, ia lantas saja<br />

mengeluarkan suara di hidung. “Huh!… manusia apa kau!” bentaknya. “Kau pengkhianat<br />

yang tak mengenal malu, yang mengakui musuh sebagai ayahmu sendiri. Apa senangnya<br />

melihat muka kaisar Tat coe?”<br />

Si pelayan kaget. Ia menatap muka Han Lim Jie dengan mulut ternganga. Akhirnya sambil<br />

menuding ia berkata. Kau!… kau… perkataan memberontak! Apa kau tak takut potong<br />

kepala?”<br />

“Kau seorang Han, tapi kau begitu mendewa-dewakan kaisar Tat coe,” kata Han Lim Jie.<br />

“Kau sungguh tak mengenal malu, lelaki tak punya tulang punggung!”<br />

Melihat sikap Han Lim Jie yang galak garang, si pelayan tidak berani berkata apa apa lagi. Ia<br />

memutar badan dan berlalu. Tapi Cie Jiak lantas melompat dan menotok jalan darah di<br />

punggungnya. “Dia tentu banyak mulut dan kalau dia dibiarkan pergi, kita mungkin<br />

ditangkap,” katanya. Seraya berkata begitu, ia menendang tubuh si pelayan ke kolong ranjang<br />

dan berkata pula. “Biar dia kelaparan beberapa hari. Kita baru lepaskan dia waktu mau<br />

meninggalkan kota ini.”<br />

Tak lama kemudian pengurus rumah penginapan berteriak teriak memanggil pelayan itu yang<br />

sedang mengaso di kolong ranjang. “A Hok! A Hok! Kemana kau? Ambil air untuk tamu<br />

kamar nomor tiga!”<br />

Sambil menahan tertawa, Han Lim Jie menepuk meja, “Hei! Lekas sediakan makanan dan<br />

arak!” bentaknya. Tuan besarmu sudah lapar!”<br />

Makanan dan minuman diantarkan oleh seorang pelayan lain yang datang dengan<br />

menggerutu. “Si A Hok tentu kabur untuk melihat keramaian. Kurang ajar! Dia enak-enakan,<br />

aku yang capai.”<br />

Pada keesokan paginya, baru tersadar Boe Kie sudah dengar ramai ramai. Ia keluar dan<br />

melihat ribuan rakyat, lelaki, perempuan, tua dan muda, berjalan ber-bondong2 ke jurusan<br />

utara dengan mengenakan pakaian baru. Semua orang riang gembira. Di antara gelak tertawa,<br />

terdengar pula suara merotoknya petasan. Keramaian itu melebihi keramaian tahun baru.<br />

Tak lama kemudian Cie Jiak pun turut keluar. “<strong>Mar</strong>i kita nonton,” ajaknya.<br />

“Kita pernah bertempur dengan boesoe gedung Jie lam ong,” kata Boe Kie. “Aku kuatir kita<br />

akan dikenali. Kalau mau menonton, kita harus menyamar.”<br />

To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1220

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!