20.06.2013 Views

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

erada dekat, mana boleh jadi aku mengucapkan kata kata cinta terhadapmu? Bukankah<br />

dengan berbuat begitu, aku sengaja menyakiti hatinya?”<br />

Cie Jiak merasa perkataan itu beralasan juga. Ia menghela nafas dan berkata. “Boe Kie koko,<br />

hatiku sangat tidak tenteram.”<br />

“Mengapa?”<br />

“Aku tidak dapat melupakan sumpahku. Selain itu, Tio Beng pun tentu tak bisa mengampuni<br />

aku. Baik dalam ilmu silat maupun dalam kepintaran, aku tak dapat menandinginya.”<br />

“Aku melindungi kau dengan segenap te<strong>naga</strong>ku. Kalau dia berani melanggar selembar rambut<br />

isteriku, aku pasti takkan mengampuni dia.”<br />

“Apabila aku lantas mati dibunuh olehnya, ya sudah saja. Apa yang ditakuti olehku adalah,<br />

karena disiasatkan olehnya, kau bergusar terhadapku dan lalu <strong>membunuh</strong>ku. Kalau aku mati<br />

cara begitu, aku mati dengan penasaran, dengan mata melek.”<br />

“Kau benar sudah gila!” kata Boe Kie dengan tertawa. “Berapa banyak manusia sudah<br />

mencelakai aku, berbuat kedosaan terhadapku, tapi toh aku tak <strong>membunuh</strong> mereka. Mana<br />

boleh jadi aku bunuh isteri tercinta?” Ia membuka bajunya dan seraya mengunjuk bekas luka<br />

tusukan pedang, ia berkata pula, “Tusukan siapa ini? Cie Jiak, makin dalam tusukanmu,<br />

makin dalam pula rasa cintaku terhadapmu.”<br />

Dengan rasa menyesal dan rasa cinta yang sangat besar, Cie Jiak meraba raba tanda luka itu.<br />

Sekonyong-konyong mukanya berubah pucat. “Tikaman dibalas dengan tikaman…” katanya<br />

dengan suara parau. “Di belakang hari… andaikata benar kau <strong>membunuh</strong> aku, aku takkan<br />

penasaran lagi…”<br />

Buru2 Boe Kie memeluk si nona. “Sudahlah Cie Jiak!” katanya. Kita harus lekas2 cari Gie<br />

hoe supaya orang tua itu segera bisa menikahkan kita. Setelah menikah kalau kau senang, kau<br />

boleh menikam aku lagi beberapa kali dan aku takkan merasa menyesal.”<br />

Sambil menyandarkan kepalanya di dada Boe Kie, Cie Jiak berbisik, “Aku mengharap, bahwa<br />

sebagai laki laki sejati, kau takkan melupakan perkataanmu di malam ini.”<br />

Lama mereka berdiam di situ, ber-omong2 dengan penuh kasih, di antara sinar rembulan yang<br />

putih bagaikan perak. Sesudah larut malam barulah mereka kembali ke rumah penginapan.<br />

Pada keesokan pagi, bersama Han Lim Jie, mereka meneruskan perjalanan ke selatan. Pada<br />

suatu magrib, tibalah mereka di kota raja. Mereka mendapat kenyataan bahwa rakyat di<br />

seluruh kota sedang sibuk membersihkan rumah dan jalan, dan di depan setiap rumah terdapat<br />

hio to (meja sembahyang). Mereka lalu mencari rumah penginapan dan menanya seorang<br />

pelayan mengenai kerepotan itu.<br />

“Kedatanganmu sungguh kebetulan,” kata si pelayan. “Kalian mempunyai rejeki besar, besok<br />

adalah hari arak arakan besar di Hong shia (kota tempat tinggalnya kaisar).”<br />

“Arak arakan apa?”<br />

To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1219

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!