20.06.2013 Views

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Tapi baru saja lima jarinya menyentuh sarung pedang, lengannya bergetaran, seperti kena arus<br />

kilat. Ia merasakan semacam te<strong>naga</strong> yang sangat besar menerobos keluar dari pedang itu dan<br />

mendorongnya dengan hebat, sehingga tak ampun lagi ia roboh terguling dan terus<br />

menggelinding kebawah tanjakan. Sesudah tergelincir belasan tombak, untuk juga ia berhasil<br />

menjemput satu pohon kecil di pinggir jalanan dan dapat menolong dirinya,<br />

Darah Hong beng mendidih; paras mukanya merah padam. "Perempuan celaka!" bentaknya,<br />

"Kau rupanya sudah makan nyali singa, sehingga berani unjuk keganasan di Siauw Lim sie."<br />

Sambil mencaci, ia menghantam dengan kedua tangannya.<br />

Melihat gerakan orang, Kwee Siang tahu, bahwa kepandaian pendeta itu banyak lebih tinggi<br />

daripada kawannya yang barusan terguling. Dengan capat ia mengangkat pedangnya yang<br />

masih berada didalam sarung dan menotok pundak Hong bang bagaikan kilat, si pendeta<br />

mengegos, sambil coba menjambret sarung pedang.<br />

"Jangan berkelahi! Jangan berkelahi!" teriak Kak wan dengan suara bingung.<br />

Jembretan Hong beng ternyata berhasil, tapi baru saja ia mau membetot sarung pedang,<br />

lengannya mendadak kesemutan dan ia mengeluarkan teriakan tertahan.<br />

"Celaka!" Hampir berbaring, Kwee Siang menyapu dengan kakinya dan tubuh Hong beng<br />

tergelincir ke bawah, ia menderita lebih hebat dari pada Hong yang dan baru berhenti sesudah<br />

menggelinding duapuluh tombak lebih dengan badan dan muka berlepotan darah.<br />

Peristiwa itu membuat sinona agak menyesal.<br />

"Ah! Aku naik ke Siauw Lim sie untuk mendengar2 warta tentang Yo Toako," pikirnya.<br />

"Siapa nyana, aku kebentrok dengan mereka."<br />

Melihat Kak wan berdiri di pinggir jalan dengan paras muka berduga, ia segera menghunus<br />

pedang dan membacok rantai yang melibat kaki pendeta itu. Biarpun bukan pedang mustika,<br />

senjata Kwee Siang bukan senjata sembarangan. Dengan berkerincingan, tiga rantai sudah<br />

putus terbacok.<br />

"Jangan! Jangan !" si pendeta coba mencegah.<br />

"Mengapa jangan ?" tanyanya. Ia mengawasi Hong beng dan Hong yang yang sedang berlarilari<br />

dan berkata pula. "Dua hweshio jahat itu tentu mau melapor. <strong>Mar</strong>i kita mabur. "Mana<br />

muridmu, si orang she Thio ? Kita ajak dia lari ber sama-sama."<br />

Kak wan meng geleng2kan kepala dan mengawasi si nona dengan sorot mata berterima kasih.<br />

Tiba-tiba Kwee Siang mendengar suara orang dibelakangnya. "Terima kasih untuk kebaikan<br />

nona. Aku berada di sini."<br />

Si nona menengok dan melihat di belakang nya berdiri seorang pemuda yang berusia kurang<br />

lebih tujuh belas tahun, dengan alis tebal, mata besar dan badan tinggi besar, tapi paras<br />

mukanya masih ke-kanak-kanakkan la segera mengenali bahwa pemuda itu bukan lain dari<br />

pada Thio Koen Po, yang pernah bertemu di puncak gunung Hwa-san. Tubuh anak itu sudah<br />

banyak lebih tinggi, tapi mukanya tidak banyak berubah.<br />

To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 8

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!