20.06.2013 Views

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

itu bukan saja sangat curam tapi juga ditutup salju licin. Maka itu, jalan satu-satunya adalah<br />

coba memanjat ke atas dari tebing-tebing yang lain, yang tidak begitu terjal.<br />

Memikir begitu, ia lantas saja berkata dengan suara membujuk, Saudara kecil, jangan kau<br />

mencurigai aku secara membuta tuli, Biar bagaimanapun jua, aku tidak akan memaksa kau<br />

untuk mencari Cia Sun. Kalau aku menggunakan kekerasan, biarlah aku mati terpanah<br />

laksaan anak panah dan mati tanpa mempunyai kuburan.<br />

Sumpah yang begitu berat itu bukan sumpah kosong. Ia tahu, bahwa ia memang tidak bisa<br />

memaksa anak yang kepala batu itu. Kemungkinan satu-satunya hanyalah membujuk atau<br />

menipu supaya si bocah mau membantunya dengan suka rela.<br />

Dilain pihak, mendengar sumpah itu, hati Boe Kie jadi lebih lega.<br />

Sekarang kita harus berusaha untuk menyelamatkan diri dengan memanjat tebing. Kata Coe<br />

Tiang Leng pula. Tapi kau tidak boleh melompat ke bawah lagi. Kau mengerti?<br />

Kalau tidak memaksa aku, akupun tak perlu mencari mati. Jawabnya.<br />

Coe Tiang Leng mengangguk dan mengeluarkan pisau yang lalu digunakan untuk mengeset<br />

kulit pohon. Dengan kulit pohon itu, ia membuat tambang yang kedua ujungnya lalu diikatkan<br />

ke pinggang sendiri dan ke pinggang Boe Kie. Sesudah itu, perlahan-lahan dan hati-hati<br />

mereka memanjat ke atas, ke arah sinar matahari.<br />

Usaha mereka itu diliputi dengan tanda tanya. Bagaimana kesudahannya? Apakah mereka<br />

akan menemui keselamatan atau kecelakaan? Entahlah, apa yabg dapat diperbuat hanyalah<br />

maju selama masih bisa maju.<br />

Tebing itu sendiri sukar dipanjat. Ditambah dengan salju yang sudah membeku menjadi es,<br />

licinnya luar biasa, sehingga setiap tindakan diliputi dengan bahaya besar. Dua kali Boe Kie<br />

terpeleset dan ia tentu sudah tergelincir ke bawah, kalau tidak ditolong Coe Tiang Leng.<br />

Sebaliknya daripada berterima kasih, ia jadi mendongkok dan mengejek dalam hatinya.<br />

Tua bangka! Kalau kau tidak mengiler pada To Liong To, tak nanti kau baik hati.<br />

Sesudah memanjat setengah hari, mereka bukan saja lelah, tapi capai. Tapi sikut, lutut, dan<br />

kaki merekapun berlumuran darah, akibat goresan es yang tajam. Perlahan-lahan curamnya<br />

tanjakan berkurang. Mereka tidak perlu merangkak lagi. Setindak demi setindak, mereka maju<br />

dengan nafas tersengal-sengal. Tak lama kemudian, mereka sudah berada di atas tanjakan<br />

yang berdiri bagaikan sebuah sekosol besar.<br />

Tiba-tiba Coe Tiang Leng mengeluh! Dengan mata membelalak dan mulut ternganga, ia<br />

mengawasi ke depan, ke lautan awan. Ternyata, mereka berdiri di atas tanah datar yang<br />

seperti panggung dan tiga penjuru panggung itu berbatasan dengan kekosongan. Luasnya<br />

tanah datar itu ratusan ombak persegi, tapi ke atas tak ada jalan, ke bawahpun begitu juga.<br />

Mereka<br />

terjebak di kotak buntu. Apa yang lebih celaka lagi, di tanah datar itu hanya terdapat salju,<br />

salju yang putih bagaikan kapas tanpa pepohonan. Tanpa makhluk hidup yang dapat<br />

digunakan untuk menangsal perut.<br />

To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 579

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!