20.06.2013 Views

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Tio Beng tertawa geli. “Tunggu sebentar,” katanya sambil menepal pintu.<br />

Beberapa lama kemudian, setelah pintu terbuka lagi, si nona ternyata sudah menukar pakaian,<br />

pakaian wanita yang sangat indah. Boe Kie tak pernah menduga, bahwa di dalam buntelan<br />

yang selalu dibawa bawa terisi seperangkat pakaian yang mahal harganya. “Perempuan ini<br />

banyak akalnya dan sepak terjangnya selain diluar dugaan orang,” katanya di dalam hati.<br />

“Mengapa kau terus mengawasi aku?” tanya Tio Beng. “Apa pakaianku bagus?”<br />

“Muka seperti bunga tho dan lie, hati bagaikan ular dan kalajengking,” jawabnya.<br />

Tio Beng tertawa terbahak bahak. “Terima kasih banyak kepada Thio Toakauwcoe yang<br />

sudah menghadiahkan kata kata seindah itu,” katanya. “Thio kauwcoe, kaupun harus menukar<br />

pakaian.”<br />

“Sedari kecil aku sudah biasa memakai pakaian compang camping,” kata Boe Kie dengan hati<br />

mendulu. “Apabila kau merasa malu melihat pakaianku, kau boleh tak usah mengikutku.”<br />

“Kau jangan menduga yang tidak tidak,” kata Tio Beng sambil tersenyum. “Aku hanya ingin<br />

melihat romanmu sesudah kau mengenakan pakaian yang baik. Boe Kie koko, kau tunggulah<br />

di sini sebentar. Kawanan pengemis itu pasti mengambil jalanan ke Kwan Lwee. Kita tentu<br />

dapat mengejar mereka.” Sehabis berkata begitu tanpa menunggu jawaban, ia segera berlalu.<br />

Boe Kie duduk bengong di pembaringan batu. Dalam hati ia mengutuk dirinya sendiri, ia<br />

heran mengapa ia seperti tauwhoe yang bisa dipermainkan oleh perempuan itu. “Terang<br />

terang dialah yang membinasakan piauw moay tapi aku masih bisa beromong omong dan<br />

tertawa tawa dengan dia,” pikirnya. “Boe Kie… ah Boe Kie… Lelaki apa kau? Apa kau ada<br />

muka untuk menjadi kauwcoe dari Beng kauw, untuk memimpin segenap orang gagah di<br />

kolong langit?”<br />

Lama juga ia menunggu, tapi Tio Beng belum juga balik. Cuaca sudah mulai gelap.<br />

“Perlu apa kutunggu dia?” pikirnya. Ia mau lantas berangkat, tapi ia segera membayangkan<br />

kemungkinan bertemunya Tio Beng dengan ayah angkatnya. Kalau mereka bertemu muka,<br />

nona Tio pasti akan binasa. Mengingat begitu dia mengurungkan niatnya dan menunggu terus.<br />

Ia mendongkol bukan main, duduk salah berdiripun salah. Akhirnya terdengar tindakan kaki<br />

dan si nona masuk dengan tangan menyangga dua bungkusan.<br />

“Mengapa begitu lama?” tanya Boe Kie. “Sudahlah! Aku tak usah menukar pakaian. <strong>Mar</strong>i kita<br />

berangkat.”<br />

Si nona tertawa. “Sesudah kau menunggu begitu lama, beberapa detik lagi untuk menyalin<br />

pakaian tak jadi soal,” katanya. “Aku sudah membeli dua ekor kuda dan kita bisa mengubar di<br />

waktu malam.” Ia mengeluarkan kedua bungkusan itu dan mengeluarkan seperangkat<br />

pakaian, sepatu dan kaos kaki. “Di tempat kecil tak ada barang baik,” katanya pula.<br />

“Setibanya di kota raja, aku akan beli baju kulit rase.”<br />

Boe Kie kaget dan lalu berkata dengan suara sungguh sungguh, “Tio Kouwnio, apabila kau<br />

menganggap bahwa aku kemaruk akan segala kemewahan dan bersedia untuk menekuk lutut<br />

To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1164

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!