20.06.2013 Views

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

kisah_membunuh_naga_tamat.pdf 5043KB Mar 29 ... - Directory UMM

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

seorang yang mengutarakan rasa hormat begitu besar terbadap ayahnya seperti pengutaraan<br />

Pheng Hweeshio.<br />

Teng Bin Koen tertawa dingin. "Dengan menikah dengan perempuan siluman, Thio Coei San<br />

seperti juga sudah buta matanya," katanya. "Dia sendiri juga yang rela menjadi seorang hina<br />

dina. Apa orang begitu pantas dibuat contoh? Boe tong pay...."<br />

"Soecie!" memutus Kie Siauw Hoe.<br />

"Jangan kuatir," kata sang kakak sepenguruan "Aku tak akan menyeret nama In Liok hiap," Ia<br />

mengibas pedangnya yang lalu ditudingkan kemata kanan si pendeta. "Kalau kau tidak bicara,<br />

lebih dulu kutusuk mata kananmu." Ia mengancam dengan suara bengis. "Kemudian kutikam<br />

mata kirimu. Sesudah itu, kusodok kuping kanan dan kuping kirimu dan akhirnya kupapas<br />

hidungmu. Tapi kau tak usah kuatir. Biar bagaimanapun juga, aku tak akan mengambil<br />

jiwamu." Ujung pedang yang berkilauan dan menggetar tak hentinya itu hanya terpisah<br />

setengah dim dari mata kanan Pheng Hweeshio.<br />

Tetapi Pheng Hweeshio sedikitpun tidak menjadi gentar. Dengan mata tak berkedip, ia<br />

berkata: "Sudah lama kudengar, bahwa Biat coat Soethay dari Go bie pay seorang kejam.<br />

Sekarang aku mendapat kenyataan, bahwa si murid tidak banyak berbeda dengan sang guru.<br />

Hari ini Pheng Eng Giok sudah jatuh kedalam tanganmu dan kau boleh berbuat sesukamu."<br />

"Bangsat gundul!" teriak Teng Bin Koen. "Kau berani menghina guruku?" Dengan sekali<br />

mendorong pedangnya, mata kanan Pheng Hweeshio sudah menjadi buta dan kemudian ia<br />

menempelkan ujung pedang dikelopak mata kiri si pendeta.<br />

Tapi pendeta itu tertawa terbabak-babak sedang mata kirinya yang terbuka lebar menatap<br />

muka musuhnya. Ditatap begitu, dengan sinar mata yang berkeredepan, jantung Teng Bin<br />

Koen memukul keras. "Kepala gundul !" bentaknya pula. "Aku sungguh tak mengerti akan<br />

sikapmu. Kau bukan anggauta Peh bie kauw, tapi mengapa kau rela membuang jiwamu untuk<br />

manusia seperti Pek Kwie Sioe ?"<br />

"Biarpun aku menerangkan kepadamu tentang cara-caranya seorang kesatria, kau tentu tak<br />

akan mengerti." jawabnya dengan suara duka.<br />

Melihat paras muka si pendeta yang seolah-olah memandang rendah kepadanya, Teng Bin<br />

Koen meluap darahnya dan sekali lagi ia menggerakkan pedang untuk menusuk mata kiri<br />

Pheng Hweeshio.<br />

Dengan cepat Kie Siauw Hoe menangkis dengan senjatanya. "Soecie. Dia keras kepala dan<br />

biar bagaimanapun jua, ia pasti tidak akan membuka mulut," katanya. "Meskipun dibinasakan<br />

tiada guna nya."<br />

"Dia mencaci Soehoe sebagai seorang kejam, maka biarlah dia menyaksikan kekejamanku."<br />

kata Teng Bin Koen. "Siluman Mo kauw semacam dia hanya bisa mencelakakan manusia<br />

baik-baik. Maka itu, jikalau kita menyingkirkannya dari muka bumi ini berarti kita terbuat<br />

baik terhadap sesama manusia,"<br />

"Tapi tidak bisa disangkal, bahwa dia seorang gagah yang tidak takut mati," Siauw Hoe coba<br />

membujuk lagi. "Soecie, menurut pendapatku, sebaiknya kita memberi ampun kepadanja."<br />

To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 411

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!